Minggu, 16 Juni 2013

Mengatasi Godaan Untuk Melakukan Diskriminasi

Godaan untuk Menyalahgunakan Kekuasaan. Bagi seorang pragmatis yang berhikmat duniawi, ajaran Yesus mengenai kekuasaan merupakan ajaran yang aneh dan mengejutkan. Secara natural kita berusaha melindungi diri sendiri dengan berusaha memperoleh kekuasaan sebesar mungkin atas orang lain dan lingkungan hidup kita. Kekuasaan sepertinya menawarkan keamanan. Dan dalam jangka pendek, strategi semacam itu kelihatannya memang benar.


Namun, prasangka dan kekuasaan dapat saling terkait. Misalnya, munculnya prasangka yang menolak untuk mempercayai sabda Tuhan tentang warga kulit hitam dan kulit putih, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, mengaburkan masalah kendali dan superioritas. Ketika kita "memberi cap tertentu" pada orang lain, kitalah yang memegang kendali atasnya, sekalipun hanya dalam benak kita. Kaum minoritas, seperti individu lainnya, kerap kali sudah terbiasa menyandang cap atau peran tertentu. Saat diberi peran oleh kelompok mayoritas yang dominan, kaum minoritas akan terus menjalankan peran itu, sekalipun peran itu membahayakan dirinya. Cap yang buruk itu pun dapat menjelma menjadi kenyataan.

Sudah barang tentu, kekuasaan yang diperoleh melalui prasangka didasarkan pada kebohongan dan hal yang setengah  —  benar. Namun, sifatnya yang tidak sah itu tidak mempengaruhi kegunaannya. Haruskah kita terkejut jika prasangka terbukti efektif? Prasangka menggunakan taktik yang serupa dengan taktik iblis dan para pengikutnya. Setan sebenarnya tidak berhak atas kekuasaan. Iblis adalah sang perampas, yang merebut kendali atas sistem yang ada di dunia dengan cara menipu dan mengeks-ploitasi dosa serta ketakutan. Namun, kenyataan bahwa dosa dan ketakutan dapat berkembang menjadi kekuatan yang demikian besar itu, jelas menunjukkan betapa merasuknya prasangka (Efesus 6:12).

Setan memahami kekuasaan. Ia merupakan pialang, manipulator, dan pedagang kekuasaan yang terulung. Yesus sendiri menyebut Iblis sebagai "penguasa dunia ini" (Yohanes 12:31; 16:11). Salah satu ujian yang dihadapi Yesus ketika pertama kali memimpin jemaat-Nya adalah ketika Dia dicobai iblis di padang gurun.

["Setan mencoba menyuruh Sang Putra melindungi diri-Nya sendiri dengan kekuasaan yang tidak diberikan Bapa kepada-Nya."]

Anak Allah menolak menggunakan kekuasaan-Nya dan memilih merendahkan diri sebagai hamba yang paling hina. Setan, yang merupakan perampok paling sombong, dengan lancangnya mencoba membu-juk Kristus untuk meninggalkan kerendahan-Nya sebagai hamba dan menggunakan kekuasaanNya untuk mengubah batu menjadi roti, memaksa para malaikat datang melayani-Nya, dan menjadi penguasa kerajaan-kerajaan di dunia asal Dia bersedia menyembah Setan dan meninggalkan jalan salib. Taktik setan sangat canggih. Ia mencoba menyuruh Anak Allah untuk hidup dengan mengandalkan kekuatan-Nya sendiri dan bukannya tetap bergantung kepada Bapa yang akan memenuhi segala kebutuhan-Nya (Matius 4:1-11).

Kebenaran Kristus tidak sama dengan kebohongan musuh kita. Ajaran-Nya membuat kita senantiasa mengucap syukur atas karya Allah yang telah dikerjakan-Nya bagi kita. Kebenaran yang dapat kita petik dari ajaran ini adalah bahwa kita dianggap bijaksana bukan ketika kita mencoba melindungi diri sendiri dengan mengendalikan orang lain dan lingkungan hidup kita, melainkan ketika kita dengan rendah hati dan patuh bergantung kepada Tuhan yang akan melindungi dan memelihara kita.

Untuk dapat mengembangkankan sikap semacam itu, kita perlu belajar memandang satu sama lain dari perspektif saling mengasihi dan bukannya dari perspektif kekuasaan, otoritas, atau hak.

Inilah yang kita saksikan dalam surat Paulus kepada saudara seimannya, Filemon, serang pemilik budak. Kendati dirinya masih dipenjara, Paulus sempat bertemu dengan budak Filemon itu, yakni Onesimus di tengah pelariannya, dan membimbingnya untuk beriman kepada Kristus. Setelah secara pribadi meng-amati iman Onesimus dan bergaul dengannya, Paulus dalam suratnya kepada Filemon memintanya untuk menerima kembali Onesimus sebagai saudara dalam Kristus. Dahulu, Filemon memang berkuasa atas Onesimus. Filemon sebenarnya berhak membunuh Onesimus karena telah melarikan diri, dan ia pun layak bersikeras menggunakan haknya itu. Namun, Paulus mengimbau Filemon agar melepas haknya itu dan dengan rendah hati menerima Onesimus sebagai sesama saudara dalam Kristus. Itulah jalan kedamaian.

Kedamaian terwujud ketika kita mengesampingkan "kekuasaan sosial" dan bersama Kristus mengikat-kan diri dengan seluruh anggota tubuh-Nya. Dengan begitu kita mulai mampu memandang satu sama lain melalui indahnya hal-hal yang Tuhan lakukan di dalam diri kita.

Glen Kehrein dari Gereja Circle Urban Ministries menuliskan pengalaman pribadinya saat melangkah ke kaki salib. Glen, yang dibesarkan di sebuah kota kecil di Wisconsin, mengaku rindu bersekutu dengan mereka yang kerap menjadi korban kekuasaan dan prasangka. Sebelum saya pindah ke Chicago dari Ripon, Wisconsin, saya tidak pernah berpikir bahwa saya memerlukan orang-orang yang terpinggirkan. Apa urusannya mereka dengan saya? Saya bahagia; baik-baik saja. Ayat yang tertera pada 1Kor 12 memang suatu pemikiran rohani yang baik, tetapi saya tidak sungguh-sungguh merasa memerlukan saudara-saudara saya warga kulit hitam. Mata saya belum terbuka terhadap realitas kerohanian bahwa "anggota-anggota tubuh yang tampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan" (ayat 22).
Namun, itu benar. Banyak di antara saudara seiman saya yang berkulit hitam justru memiliki hikmat dan karakter kerohanian yang dalam, karena mereka merasakan penindasan, kemiskinan, dan kekurangan. Tanpa mereka, saya miskin secara rohani, seolah-olah saya kehilangan sebuah tangan, atau mata, atau kaki (Breaking Down Walls, hal. 172).

Inilah kekayaan Keluarga Allah yang cenderung sering kita hilangkan, karena kita sibuk mengejar hal-hal dan kekuasaan duniawi yang menyesatkan.

Godaan untuk Mencari Kambing Hitam. Mereka yang belum memahami dan menerima kelemahan mereka di hadapan Allah cenderung menciptakan prasangka yang menimbulkan konflik dengan orang lain. Mereka cenderung mencari kambing hitam untuk dipakai sebagai penangkal petir atas kemarahan dan frustrasi pribadi mereka. Dalam hal ini, praktik mencari kambing hitam bekerja mirip obat. Kambing hitam dapat dipakai sebagai alat untuk melampiaskan kekesalan emosional. Gordon Allport menuliskan:
Tampaknya beberapa bentuk sikap asertif agresif memang betul-betul merupakan insting manusia untuk mengatasi frustrasi yang dialaminya. Saat mengamuk "bayi akan menendang dan menjerit. Ketika marah manusia sudah pasti tidak menunjukkan tanda-tanda kasih atau kesatuan; reaksinya bersifat acak dan liar. Bayi tidak menyerang sumber frustrasi yang sesungguhnya, tetapi menyerang objek apa pun yang melintas di hadapannya (The Nature of Prejudice, hal. 343).

Sepanjang hidup ini, kecenderungan semacam itu akan terus ada. Kemarahan yang muncul lebih kerap disebabkan oleh adanya sasaran kemarahan dan bukan karena adanya objek kemarahan yang logis. Terkadang, bentuk kambing hitam tertentu sangat lazim dalam suatu budaya. Misalnya; kaum Yahudi harus mengalami nasib yang tragis karena secara tradisional mereka adalah kambing hitam bagi masyarakat Barat. Mereka selalu dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala musibah yang terjadi, mulai dari wabah sampar bubo hingga Depresi Besar.

Ini mungkin disebabkan adanya kecenderungan jahat dalam diri manusia, yang secara tegas sudah diperingatkan Yesus:
Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala (Matius 5:21,22).

Yesus meminta kita agar menyingkirkan "balok" di mata kita, sebelum menghakimi orang lain karena terdapat "selumbar" di matanya (Matius 7:3). Bagaimana kita dapat "lambat untuk marah" jika kita bahkan tidak sepenuhnya menyadari kemarahan kita sendiri? Hanya dengan membiasakan diri mengembangkan kesadaran akan perlunya mengendalikan kemarahan pribadi kita, dan hanya dengan cara memeriksa dan mengakui dosa kita, barulah kita dapat memahami betapa sia-sia dan betapa merusaknya kebiasaan melampiaskan amarah kepada orang lain.

Contoh menarik dari Alkitab mengenai kemarahan ditunjukkan melalui reaksi Daud atas perkataan Nabi Natan (2Samuel 12). Natan memberi tahu Daud mengenai seorang kaya, yang meski memiliki banyak domba, tetapi tega mengambil domba peliharaan tetangganya yang miskin dan menyembelih-nya untuk dijadikan santapan malam. Begitu mendengar laporan itu, Daud marah dan meminta orang kaya yang sombong dan tidak berperasaan itu dihukum mati.

["Sebagian dari orang yang paling pemarah di dunia merupakan orang yang paling banyak menyembunyikan sesuatu."]

Padahal Daud sendiri baru saja melakukan perbuatan yang jauh lebih keji daripada orang kaya dalam kisah Natan itu. Daud telah membunuh seorang prajuritnya yang setia agar dapat berzina dengan istri prajurit itu dan menjadikan perempuan itu selir barunya. Daud sama sekali tidak menangkap maksud perumpamaan yang disampaikan Natan kepadanya. Dengan mengandalkan hikmatnya sendiri, Daud meminta orang kaya itu dihukum mati. Sampai kemudian Natan berkata, "Engkaulah orang itu!"

Barangkali bentuk prasangka yang paling tidak jujur dan merusak adalah penindasan serta penonjolan diri. Siapa pun yang mengenal doktrin dasar kekristenan akan tahu bahwa kita semua adalah orang berdosa. Tak seorang pun di antara kita yang dapat mengaku dirinya suci (Roma 3:9-26; 1Yohanes 1:8). Meskipun demikian, kita semua merasakan betapa sulitnya mengakui dosa dan kelemahan kita. Keengganan mengakui perbuatan dosa kita, membuat kita sering menimpakan kesalahan kepada orang lain. Gordon Allport mengatakan:
Andai saja ada sifat yang tidak dikehendaki dalam diri seseorang  —  misalnya ketamakan, nafsu, kemalasan, kesembronoan. Yang diperlukan oleh orang itu adalah karikatur atas semua sebutan itu …  Ia memerlukan sesuatu yang sedemikian ekstremnya, sehingga ia bahkan tidak perlu lagi mendakwa dirinya sendiri bersalah (The Nature of Prejudice, hal. 388).

Mengakui dosa pribadi bukanlah hal yang mudah. Selain itu, juga tidak menyenangkan. Namun, jika kita tidak mengizinkan Allah memimpin kita di jalan damai, kita akan menahan dosa kita sendiri sehingga membebani orang lain dengan sikap penonjolan diri, prasangka, dan amarah.

Godaan untuk Terus Hidup Nyaman. Belum lama ini muncul bidang studi baru di sejumlah seminari dan perguruan tinggi kristiani. Mata kuliah itu dinamakan "Kajian Pertumbuhan Gereja". Disiplin ilmu itu memusatkan perhatian pada upaya menganalisis faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan gereja. Salah satu hasil pengamatan para pakar adalah: manusia secara alamiah merasa lebih nyaman berada di tengah orang-orang yang sama seperti dirinya. Masyarakat dari ras, suku, dan kelompok sosial ekonomi yang sama cenderung mendekatkan diri satu sama lain. Sekalipun mereka mungkin tidak secara sadar ingin memisahkan diri dari masyarakat dari kelompok ras, budaya, atau ekonomi yang berbeda, tetapi kenyataannya mereka "secara alamiah membentuk gereja-gereja yang homogen".

Karena ini merupakan hal yang "alamiah" dan bukan kesengajaan, lalu apakah hubungannya dengan prasangka? Raleigh Washington dan Glen Kehrein melontarkan sejumlah pendapat mendalam mengenai pertanyaan penting ini:
Apakah kita saling membutuhkan? Para pendukung prinsip "gereja yang homogen" dan "niche marketing"(pemasaran produk yang dikhususkan untuk segmen masyarakat tertentu) atau Afro-sentrisme, serta hak menentukan nasib sendiri, pasti tidak akan sependapat. Jika nanti toh akan terjadi juga bentrok antarras, buat apa kita bersusah payah berusaha mencapai rekonsiliasi antarras? Mengapa kita harus melawan natur manusia?  …  Namun, pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah kita juga memakai kecenderungan manusia untuk berkumpul dengan kelompoknya sendiri itu dalam kesatuan tubuh Kristus? Apakah kita mampu menerima pemikiran "berbeda tetapi sama" dalam pergaulan dan hubungan kristiani? Yang jelas, kita tidak dapat bergaul akrab satu sama lain jika tubuh Kristus yang seharusnya menjadi garam dan terang dunia tercerai-berai oleh konflik antarras (Breaking Down Walls, hal. 170).

Tidak dapat diingkari bahwa kita senantiasa mengalami kesulitan ketika mencoba merobohkan tembok yang menghalangi hubungan antarkelompok dalam masyarakat. Kita cenderung menghabiskan waktu bersama orang-orang yang setidaknya kita duga tidak akan keliru menafsirkan kita dan tidak membuat kita merasa tidak nyaman atau canggung. Untuk melanggengkan suatu pernikahan pun, perlu usaha keras. Diperlukan komitmen yang kuat untuk mencapai kesatuan rohani dan emosional dengan mereka yang secara kultural tidak menyukai kita.

["Zona nyaman merupakan tempat dosa dapat berdiam dengan tenang."]

Nyatanya, di kerajaan dunia ini, orang yang menyisihkan orang lain terlihat lebih beruntung. Gordon Allport mengartikan prasangka sebagai "prinsip untuk bertindak seminimal mungkin" dan menurutnya, hal yang mendorong seseorang untuk melakukan hal itu adalah:
Jika saya menolak semua orang asing dan memasukkan mereka dalam suatu kelompok, saya tak perlu repot-repot lagi berurusan dengan mereka … . Jika saya dapat menilang, agar semua orang kulit hitam dianggap sebagai ras yang rendah dan patut ditolak, maka saya dengan mudah bisa mengenyahkan sepersepuluh sesama warga negara Amerika Serikat. Jika saya dapat memasukkan umat beragama lain ke dalam kelompok lain dan menolak mereka, hidup saya akan semakin mudah. Saya lalu memangkas lagi dan membuang kaum Yahudi, begitulah yang terjadi (The Nature of Prejudice, hal. 365-366).

Sudah barang tentu, kelompok-kelompok kebudayaan yang berbeda akan merasa lebih nyaman dan tidak perlu menguras banyak tenaga jika mereka tetap terpisah, tetapi apakah kenyamanan seperti itu sehat?

Seorang pria yang ingin mengelak dari kewajiban melaksanakan perintah untuk mengasihi sesamanya bertanya kepada Yesus, "Siapakah sesamaku?" Yesus menjawabnya dengan menyampaikan perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati, yakni kisah tentang kasih yang ditunjukkan oleh seorang dari kelompok minoritas yang di pandang rendah (Lukas 10:29-37). Raleigh Washington menuliskan sebagai berikut:
Dalam perjalanannya menuju salib, Yesus menghancurkan banyak hal yang menghalangi terjalinnya hubungan baik antarkelompok masyarakat lewat kabar baik penebusan yang Dia bawa (sekalipun Dia harus menanggung banyak penderitaan karenanya). Dia mengejutkan orang yang sehat dengan menyentuh penderita lepra yang "najis". Dia membuat berang para murid yang haus kekuasaan dengan mengatakan bahwa mereka harus menjadi seperti anak kecil. Dia mempermalukan orang yang merasa paling benar dengan menolak mengutuk perempuan yang berzina. Dia memukul "orang benar" lewat pergaulannya dengan para pendosa. Dia membuat malu orang kaya dengan memuji sedikit persemba-han yang diberikan seorang wanita miskin dalam kekurangannya. Dia mengusik kaum Yahudi tulen dengan mengundang peranakan orang Samaria menjadi anak Allah. Rintangan itu tidak runtuh secara kebetulan. Yesus sengaja memakai cara-Nya sendiri supaya maksud-Nya tercapai: "Jika kamu ingin mengikuti Aku, rintangan itu harus diruntuhkan. Kenyataannya, rintangan itu menghalangi orang untuk melihat siapa Aku sesungguhnya" (Breaking Down Walls, hal. 127-128).

Meskipun mungkin kita lebih "enak" bergaul dengan orang yang sama seperti kita, tetapi apakah ini bermanfaat? Apakah pantas jika kita hanya duduk dengan anggota keluarga dekat kita dalam sebuah acara reuni? Haruskah seorang siswa hanya mempelajari mata pelajaran yang telah dikuasainya? Washington dan Kehrein menunjukkan bahwa mengenal orang dari latar belakang yang berlainan jauh lebih bermanfaat.

Riset sosiologi menunjukkan bahwa kepercayaan jauh lebih penting daripada ras atau jenis kelamin dalam menentukan siapa yang kita pilih sebagai teman. Bagaimana mungkin kita dapat menyangkal kesimpulan bahwa "kenyamanan" yang terasa di gereja-gereja yang bersifat homogen erat kaitannya dengan sikap mementingkan diri sendiri dan kemalasan rohani? Jika kebiasaan menghindari hal-hal yang merepotkan dijadikan prinsip untuk mengarahkan pertumbuhan gereja, maka kita telah benar-benar memadamkan Roh (1Tesalonika 5:19), membatasi pertumbuhan rohani, menyulut murka Allah (Matius 25:14-28), serta membuat gereja menjadi malas dan selalu diliputi ketakutan (Amsal 22:13).

Ketika kita berani mengambil risiko demi Kerajaan Allah, tantangan akan memungkinkan kita bertumbuh secara emosional dan rohani, dengan cara yang mustahil kita alami jika kita terus hidup gampang dan jauh dari konflik. "Prinsip berjuang seminim mungkin" bukanlah bintang penunjuk jalan kita.
Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan (Roma 5:3,4).


Damai Dalam Menghadapi Masa Depan

[Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri … "  —  1Yohanes 3:3]

Tidaklah mudah bagi para pengikut Kristus mula-mula untuk mengabaikan harapan yang bersumber dari rasa damai yang bersifat politis. Mengingat kaum Yahudi dididik berdasarkan ajaran Perjanjian Lama berbahasa Ibrani, mereka memiliki alasan untuk meyakini bahwa Mesias pasti akan mengalahkan dunia. Para nabi menggambarkanNya sebagai pemerintah seluruh bumi mulai dari kota Yerusalem.
Yesaya dalam tulisannya menubuatkan: Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi dan berkata, "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem." Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang (Yesaya 2:2-4).

Keadaan semacam itu tidak akan terwujud dengan mudah. Yesaya melanjutkannya dengan menggam-barkan hari penghakiman yang mengerikan (Yesaya 2:1-4:6) yang akan mendahului damai yang akan menyusul kemudian (Yesaya 4:3-6; lihat juga Yeremia 30:1-7 dan Daniel 12:1). Namun, setelah periode pembersihan ini, Kerajaan Allah akan terwujud. Mesias akhirnya akan memerintah selama-lamanya di seluruh dunia. Di bawah pemerintahan Sang Raja Damai (Yesaya 9:5), kaum non-Yahudi akan sama-sama menyembah dan memperoleh damai dari Allah (Yes 56:7; 66:23; Za 14:16; Mal 1:11).

Mengingat hari kedatangan Kristus untuk memerintah di bumi merupakan saat yang bersejarah, maka tidak mengherankan jika setelah kebangkitan Yesus, para murid-Nya masih bertanya-tanya apakah mereka akan dapat melihat tibanya hari itu. Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ, "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" JawabNya, "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke ujung bumi." Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka, "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga" (Kis 1:6-11).

Perkataan para malaikat ini menegaskan kepada kita bahwa Allah tidak pernah melupakan janji-Nya. Sejarah berada dalam kendali-Nya. Pada akhirnya kejahatan tidak akan mampu mengalahkan kebaikan.

Meskipun kita tidak mengetahui kapan semua ini akan berakhir, Allah memiliki kalender dan rencana. Dia mengawasi semuanya. Dengan jaminan itu, Dia meminta kita mempercayai-Nya, tidak saja di masa mendatang, tetapi juga hari ini.

Diringkas dari Buku Mengapa Tiada Damai di Dunia Ini?, Penyunting: C. Krismariana W, Yoygyakarta: Yayasan Gloria, 2009, halaman 8-9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar