Kamis, 20 Juni 2013

Dasar-Dasar Teologis Pelayanan Untuk Anak

Oleh: Andar Ismail[1]

Pendahuluan
Melayani anak adalah salah satu hakekat dan panggilan gereja. Aspek yang dominan dari pelayanan untuk anak adalah pelayanan pendidikan. Berkaitan dengan itu terdapat aspek-aspek pelayanan lain, yaitu pelayanan, pengajaran, pelayanan pemeliharaan (misalnya bagi anak yatim piatu), pelayanan pembelaan (misalnya untuk anak cacat dan buruh anak), pelayanan perlindungan (misalnya bagi perilaku kejam, perkosaan dan anak korban kejahatan orang dewasa) dan pelayanan aspek lain-lainnya.

Tiap aspek pelayanan itu berbeda namun dapat juga saling bertumpang tindih. Misalnya pelayanan pendidikan dalam bentuk pengadaan bacaan edukatif bagi anak sekaligus juga merupakan pelayanan perlindungan kepada anak dari bacaan yang destruktif. Jadi pelayanan gerejawi kepada anak merupakan suatu keutuhan.
Yang dimaksud dengan anak di sini terutama adalah golongan usia di bawah 12 tahun. Namun asas-asas pemikiran di sini berlaku juga remaja dan pemuda, apalagi jika diingat bahwa menurut pengertian hukum yang dimaksud dengan anak cukup luas golongan usianya, misalnya 18 tahun menurut konvensi PBB atau 21 tahun menurut UU Kesejahteraan Anak tahun 1979 di Indonesia.

Dasar dari Agama Yahudi Purba
Gereja Kristen lahir dari tradisi agama Yahudi sebelum abad Masehi. Berbeda dengan budaya Yunani - Romawi yang kuat di bagian dunia dan zaman itu, maka budaya Yahudi lebih menjunjung martabat anak.
Ketika Yesus hidup di Palestina, budaya Yunani - Romawi masih mempunyai kelaziman membuang bayi perempuan, bayi cacat atau bayi sakit. Anak laki-laki yang sehat dinilai berguna untuk kelak dijadikan tenaga kerja atau tentara. Yang diberi nama biasanya hanya anak laki-laki pertama dan kedua; yang lainnya dipanggil dengan nomor. Anak yang dibuang biasanya diambil oleh para pengemis dan dimanfaatkan untuk menimbulkan rasa kasihan orang banyak, atau untuk dijual sebagai budak kecil dan yang perempuan sebagai pelacur kecil.[2]
Walaupun budaya Yahudi Purba tentang anak tidak dalam segala hal bisa dipuji (misalnya dalam hal diskriminasi jenis kelamin), namun budaya Yahudi mempunyai konsepsi yang lebih tinggi terhadap anak. Kalau budaya Gerika Romawi terutama memberi arti ekonomis kepada anak, maka budaya Yahudi memberi arti teologis dan pedagogis. Anak dinilai sebagai warisan berharga yang diberikan turun-temurun dari Tuhan: "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka daripada Tuhan, dan buah kandungan adalah sesuatu upah" (Mzm 127:3). Mengandung dan melahirkan dinilai sebagai bagian dari proses penciptaan oleh Tuhan (Kej 1:28), kesuburan kandungan sebagai bagian dari janji Tuhan (Kej 12:3).
Konsep yang tinggi tentang anak disebabkan oleh keyakinan umat Israel sebagai umat pilihan, sehingga anak mempunyai fungsi meneruskan Taurat. Sebab itu anak perlu mendapat pendidikan yang baik agar hidup sesuai dengan Taurat. Sepanjang Perjanjian Lama ada garis merah yang menekankan perlunya orangtua mendidik anak: "Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu..." (Ul 6:4-9).
Tujuan pendidikan adalah agar sejak usia dini orang mempunyai pengetahuan dan hikmat.[3] Di sini pengetahuan dan hikmat mengandung arti religius. Ada ayat yang menunjukkan itu secara eksplisit: "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan" (Ams 1:7). Ada pula yang implisit: "Apabila di kemudian hari anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan dan peraturan itu, yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan Allah kita? Maka haruslah engkau menjawab anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi Tuhan membawa kita keluar dari Mesir..." (Ul 6:20-21).
Dalam Tugas pendidikan ini orangtua dianggap sebagai penyambung lidah Tuhan. Sebab itu orangtua patut menjadi teladan dan berwibawa. "Hormatilah ayahmu dan ibumu..." (Ul 5:16). "Terkutuklah orang yang memandang rendah ibu dan bapanya..." (Ul 27:17). Hukuman terhadap anak yang melawan orangtua tidak kepalang tanggung yaitu hukuman mati (Lihat Ul 21:18-21). Mungkin hukum yang kurang manusiawi ini dibuat dalam rangka preventif ("akan mendengar dan menjadi takut," ay. 21) dan sepanjang sumber-sumber sejarah, barangkali belum pernah terlaksana.[4]
Budaya Yunani Purba juga mengenal pelayanan pembelaan kepada anak berposisi lemah secara politis (misalnya anak orang asing) atau secara sosial (anak yatim piatu), "Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim piatu" (Ul 24:17). "...Belalah hak anak-anak yatim" (Yes 1:17). Tentang anak cacat ada kisah Mefiboset yang kedua kakinya timpang, namun dikasihi ayahnya Jonatan dan kemudian hari dihargai oleh raja Daud (2Sam 4:4 dan 9:1-13).


Dasar dari Diri dan Pekerjaan Yesus
Keempat kitab Injil mencatat beberapa kejadian di mana Yesus menjadi marah, namun Markus adalah satu-satunya penginjil yang menggambarkan kemarahan Yesus dengan kata eganaktesen yang berarti panas hati melihat ketidakbenaran. Apa yang menyebabkan Yesus begitu marah? Karena Yesus melihat anak-anak kecil dihalau oleh para murid-Nya.
Peristiwa ini dicatat secara sinoptis dalam Matius 19:13-15, Markus 10:13-16 dan Lukas 18:15-17. Ketiga kitab Injil ini tidak mencatat mengapa para murid menolak anak-anak itu. Mungkin ini disebabkan karena para murid beranggapan bahwa Yesus sebaiknya tidak diganggu oleh kehadiran anak-anak. Kita juga tidak tahu umur berapa anak-anak itu. Markus dan Matius memakai istilah paidia yang berarti anak laki-laki atau perempuan dari segala usia, sedangkan Lukas memakai istilah brephe yang berarti bayi. Para penginjil juga tidak memberitahu siapa yang membawa anak-anak itu; mungkin orang tua mereka, mungkin juga hanya ayah mereka, sebab pada waktu itu ada kelaziman bahwa ayah membawa anak kepada rabi terkenal untuk diberkati. Weber mengutip Soferim 18:5 yang berbunyi: "It was a beautiful custom in Jerusalem to make little children, boys and girls, fast on the Day of Atonement ... and then carry or lead them to the elders for them to bless them...”[5]
Ketiga penginjil mencatat bahwa para murid memarahi orang yang membawa anak-anak itu. Lalu timbullah reaksi Yesus yang mengejutkan para murid. Yesus bukan memuji tindakan para murid, malah memarahi tindakan itu dengan sengit. Seolah-olah Yesus mau berkata bahwa menghalangi anak-anak datang kepada-Nya adalah sebuah perbuatan salah yang sangat besar.
Di sini kita melihat konsep yang tinggi tentang anak. Budaya yang lazim meremehkan anak, namun Yesus menghargai anak. "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah" (Mrk 10:14).
Ucapan Yesus itu ada tambahannya dalam Injil Markus dan Lukas, yaitu: "...Barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya" (ay. 15). Kedua ucapan Yesus ini tampak seperti berpokok tentang karakteristik anak kecil, misalnya polos, lugu dan bersahaja. Tetapi sebenarnya di sini Yesus sedang berbicara tentang karakteristik Allah. Allah memberikan kerajaan-Nya kepada orang yang polos, lugu dan bersahaja, yang sama sekali tidak mempunyai perasaan sanggup, unggul atau lebih dalam hal kerohanian.[6]
Sebagai lambang pemberian Kerajaan Allah. Yesus memeluk anak-anak itu. Perikop ini memperlihatkan kutub-kutub yang bertolak belakang: Yesus marah dan Yesus memeluk, para murid menghalau tetapi Yesus menyambut, budaya masyarakat meremehkan anak tetapi Yesus menghargai anak.
Sebuah cerita lain tentang sikap Yesus terhadap anak terdapat secara sinoptis di Matius 18:1-5; Markus 9:33-37 dan Lukas 9:46-48. Menurut Matius konteksnya adalah suasana belajar dan mengajar rabinik di mana para murid bertanya siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan menurut kedua penginjil lainnya konteksnya adalah perselisihan para murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka.
Terhadap persoalan ini Yesus memberi jawab dengan menempatkan seorang anak kecil di depan para murid dan berkata: "...Barangsiapa yang merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga" (Mat 18:4; bandingkan catatan Lukas yang berbeda dan Markus yang lebih berbeda lagi).
Di sini Yesus berbicara tentang kaidah Allah yaitu kebesaran, kedudukan dan kekuasaan. Yang dinilai besar oleh Allah adalah mereka yang "merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil." Agaknya di sini Yesus berbicara tentang posisi tidak berdaya yang ada pada anak kecil. Lalu Yesus mengidentikkan diri dengan orang yang berposisi tidak berdaya: "Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (ay. 5).
Lalu Yesus melanjutkan, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut" (ay. 6). Kata menyesatkan di ayat ini merupakan terjemahan dari kata Yunani skandaloon yang berarti perangkap, jerat, batu sandungan, tergelincir atau terjerumus ke dalam hal yang jahat. Di sini Yesus berbicara tentang perlindungan bagi anak dari manipulasi dan eksploitasi orang dewasa.[7]
Sikap Yesus menghargai anak dalam dua perikop sinoptis di atas, jangan diartikan bahwa Yesus mengidealisasikan anak, sebab dalam perikop lain, yaitu Mat 11:16-17 dan Luk 7:31-35 Yesus justru mengumpamakan umat Israel sebagai anak-anak yang kurang responsif dan kurang kooperatif.
Secara keseluruhan, dari catatan para penginjil tampak bahwa Yesus bersikap positif dan menilai anak secara tinggi.

Dasar Dari Sejarah Gereja
Beberapa pendidik besar dalam sejarah gereja menunjukkan komitmen bagi pelayanan terhadap anak.
Jean Charlier de Gerson (1363-1429) adalah teolog yang menjadi rohaniwan di Katedral Notre Dame dan rektor Universitas Paris. Dalam kesibukannya sebagai seorang teolog, ia memberi banyak perhatian kepada dunia anak. Di biara Lyon ia mengarang buku-buku cerita untuk anak dan bahan kurikulum pelajaran agama untuk anak. Rekan-rekan Gerson bukan memuji perbuatan Gerson, malah mengejeknya. Mereka berkata bahwa menulis buku cerita anak adalah pekerjaan yang remeh dan merendahkan derajat seorang teolog. Gerson menangkis kecaman itu dengan berkata bahwa tidak ada pelayanan kristiani yang lebih tinggi daripada pelayanan kepada anak.[8]
Johanes Calvin (1509-1564) dalam rangka membaharui gereja juga menekankan perlunya pelayanan kepada anak. Menurut Calvin tiap pendeta mempunyai dua macam jemaat, yaitu jemaat anak-anak dan jemaat orang dewasa. Mendidik kedua jemaat ini adalah sama penting.[9]
Jan Amos Komensky atau Comenius (1592-1670) adalah pemimpin gereja Moravia yang dijuluki The First Modern Educator. Ia mengembangkan banyak teori tentang pendidikan anak. Ia berdalil bahwa seorang anak dilahirkan belum dalam keadaan sebagai manusia melainkan dalam keadaan bisa menjadi manusia. Dan untuk itu diperlukan pendidikan. Ia menulis: "...he gave no bad definition who said that man was a teachable animal. And indeed it is only by proper education that he can become a man... Let none believe therefore, that any can really be a man, unless he have learned to act like one, that is, have been trained in those elements which constitue a man.”[10]
Robert Raikes (1735-1811) adalah wartawan di Gloucester, Inggris, yang sering meliput berita kriminal. Dari pengalaman ini Raikes berpendapat bahwa mendidik orang dewasa yang sudah menjadi jahat tidak banyak berfaedah. Lebih baik mencegah dari usia dini. Ketika itu Inggris sedang mengalami revolusi industri di mana banyak anak bekerja di pabrik. Pada hari Minggu anak-anak berkeluyuran di jalan. Raikes lalu membuka sekolah pada hari Minggu dengan kurikulum: membaca, menulis, beribadah dan pengenalan Alkitab.[11]


[1] Andar Ismail adalah dekan program pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Menempuh studi lanjut di Belanda, Jepang, Korea dan program doktor selama lima taHun di Virginia, Amerika Serikat. Membuat penelitian di Rijksuniversitiet Leiden dan di nominasi di Hebrew University of Jerusalem. Mengarang buku-buku renungan yang disebut "Seri Selamat" terbitan BPK Gunung Mulia. Bukunya yang terbaru, "Selamat Panjang Umur - 33 Renungan tentang Hidup."
[2] Hans-Ruedi Weber, Jesus and The Children-Biblical Resources for Study and Preaching (Geneva: WCC, 1979) 5-8. Weber mengutip sumber-sumber utama seperti papyrus Oxyrhynchus abad 1 SM, Institutio Oratorio abad I, Eclogae abad 5.
[3] W. Boyd, History of Western Education (New York: Barnes & Noble, 1965) 52-61.
[4] I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab Ulangan 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986) 142.
[5] Weber, Jesus and The Children-Biblical, 15.
[6] Diuraikan dalam bentuk renungan "Siapa yang Masuk Kerajaan Allah?" di Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994) 80-83.
[7] Dewasa ini yang dapat disebut skandaloon terhadap anak adalah misalnya memanfaatkan anak kecil sebagai pangsa pasar iklan atau sebagai tokoh iklan, penggunaan anak kecil dalam show-biz yang mencabut anak dari dunianya, banjirnya budaya tonton yang menghambat daya imajinasi dan daya baca anak, pengadaan tontonan dan bacaan yang tidak kondusif untuk pertumbuhan kepribadian anak, cara mendidik yang keliru, indoktrinasi fanatisme agama, kurikulum sekolah yang keliru, penggunaan anak sebagai buruh sektor formal tanpa memperhatikan kebutuhan jiwa anak, penculikan, pemerasan, dan sebagainya.
[8] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991) 245-251 dan Kendig Brubacher Cully, Basic Writing in Christian Education (Philadelphia: Wesminster, 1960) 122-126.
[9] Boehlke, Sejarah Perkembangan, 415 dan Elmer Towns, A History of Religious Educators (Grand Rapids: Baker, 1975) 167-174.
[10] Towns, A History, 176-188.
[11] J. Donald Butler, Religious Education (New York: Harper & Row, 1962) 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar