Minggu, 16 Juni 2013

Damai Dalam Menghadapi Kematian

["Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun berkuasa atas hari kematian"  —  Salomo (Pkh 8:8)]

Orang yang takut mati biasanya juga takut hidup. Mereka cenderung merasa takut juga terhadap orang lain. Berada di tengah-tengah teman sekerja seolah-olah membuka peluang bagi terjangkitnya kuman yang membahayakan kehidupan. Hidup bersama orang miskin memperbesar kemungkinan untuk dirampok dan dibunuh oleh orang yang termotivasi hanya untuk mendapat makanan atau obat-obatan. Tidak perlu berbaik-baik memberikan bantuan, karena kita dapat masuk ke perangkap seseorang yang pada akhirnya akan balik menyerang, merampok, menggugat, atau membunuh kita. Bahkan berkendaraan di jalan-jalan lingkungan kita pun berisiko mengingat banyaknya orang yang mengemudikan kendaraan secara serampangan, dalam keadaan mabuk, dan ugal-ugalan.


Yesus sadar bahwa orang yang diliputi ketakutan tidak akan mampu melakukan banyak perbuatan baik. Dia tahu betapa sulitnya mereka menjadi sahabat dan murid-Nya karena mereka sendiri takut mengha-dapi risiko kemarahan para musuh-Nya (Matius 10:25-27). Oleh karena itu, Yesus berkata:
Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Matius 10:28).
Dengan berkata demikian, Yesus sama sekali tidak berniat mendorong para pengikutNya untuk mengambil risiko yang bodoh atau hidup tanpa mempedulikan keselamatan pribadi mereka sendiri. Dia hanya mendorong mereka untuk berdiri teguh bersama-Nya dan beriman kepada-Nya dengan segala akibatnya. Sang Guru menghendaki agar para pengikut-Nya menunjukkan sikap berani, terpuji, dan penuh kasih di hadapan para lawan mereka. Dan satu-satunya cara untuk dapat mengasihi orang yang membenci mereka adalah dengan belajar untuk lebih takut kepada Tuhan daripada kepada orang lain.

["Kerinduan manusia duniawi untuk dapat hidup selamanya dilatarbelakangi oleh ketakutan menanggung dampak kematian."]

Orang-orang selalu tersiksa oleh ketakutan akan kematian. Kendati Freud dan tokoh ateis lainnya telah memopulerkan gagasan bahwa keyakinan akan adanya kehidupan abadi hanya merupakan khayalan, tetapi kebanyakan masyarakat kuno merasa takut dan ngeri menghadapi kemungkinan adanya kehidupan sesudah mati. Mereka tidak hanya takut menghadapi dunia yang akan mereka masuki sesudah mati, tetapi mereka juga harus berjuang mengatasi kutuk rasa bersalah dan ketakutan yang tidak jelas.

Ketakutan semacam itu kerap tercermin dalam naskah kuno. Dalam buku The Republic (380 SM) karangan Plato, terdapat dialog seorang lelaki tua bernama Cephalus yang mengutarakan perasaannya mengenai peristiwa yang pasti akan dihadapi oleh semua orang:
Asal engkau tahu, Sokrates, ketika seseorang dihadapkan dengan pemikiran mengenai kematian, maka dalam benaknya akan muncul kecemasan yang sebelumnya tidak mengganggu dirinya. Kisah mengenai dunia lain dan tentang hukuman yang harus ditanggungnya di kehidupan mendatang akibat kesalahan yang diperbuat semasa hidupnya, yang biasanya menjadi bahan tertawaan baginya, mulai menjangkiti pikirannya. Ia pun akan merasa takut kalau-kalau hal itu benar. Entah karena kondisi fisik yang melemah di usia tua, atau karena merasa bahwa ajalnya hampir tiba, orang itu akan memiliki persepsi yang lebih jelas mengenai kematian. Pikirannya akan dipenuhi oleh keraguan dan ketakutan sehingga ia mulai membuat perhitungan dan memeriksa apakah ia telah berbuat khilaf terhadap orang lain. Orang yang menyadari dirinya terlalu banyak berbuat salah dalam hidupnya, kerap terbangun di malam hari dengan perasaan takut seperti kanak-kanak yang mengalami mimpi buruk, dan kehidupannya akan penuh dengan firasat. Akan tetapi, orang yang menyadari bahwa dirinya tidak bersalah akan menantikan kematian dengan gembira dan penuh harapan, atau menurut istilah Pindar,"menjalani hari tua dengan tenang".

Namun, sekalipun manusia takut menghadapi kematian dan penghakiman, mereka masih terus ingin hidup selamanya, sebuah keinginan yang sebenarnya wajar demi kelangsungan hidup manusia. Jika kematian merupakan akhir segalanya, jika tidak ada pengharapan akan adanya kehidupan setelah kematian yang memberi arti bagi mereka yang telah melakukan hal-hal yang benar atau bagi mereka yang terjerat kuasa iblis dalam hidupnya, maka yang terjadi adalah seperti yang dituliskan filsuf Spanyol Una-muno:
"Jika memang benar riwayat saya akan tamat," kata kita kepada diri sendiri, "begitu saya binasa, maka menurut keyakinan saya, dunia juga berakhir. Oleh karena itu, mengapa tidak secepatnya saja dunia diakhiri … ? Jika hidup, yang dijalani sekadar untuk hidup atau semata-mata demi orang lain yang juga akan mati, tidak memuaskan jiwa, apa bagusnya hidup ini. Obat terbaik bagi kita adalah mati" (Tragic Sense of Life, hal. 44).

Kesadaran akan nasib tragis yang tidak berarti ini kerap menyiksa mereka yang tidak memiliki jaminan bahwa kubur adalah tonggak menuju tempat yang lebih baik.

Kedamaian yang ditawarkan Yesus menjadi sumber pengharapan dalam menghadapi kematian. Ketika Dia menyemangati para sahabat-Nya untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menerima damai dari Dia, yang tidak dapat diberikan oleh dunia (Yohanes 14:27), Dia menawarkan damai yang jauh lebih penting daripada gencatan senjata militer atau perjanjian damai.
Inilah damai yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri ketika Dia menghadapi masalah-Nya. Pada akhirnya, para murid akan melihat-Nya bergumul di Taman Getsemani dan kemudian dengan patuh menjalani hukuman yang tidak begitu saja membunuh-Nya, melainkan juga untuk lebih dulu menganiaya dan merendahkan-Nya di depan umum.

Yesus sadar bahwa kemesiasan-Nya lebih dari sekadar menyandang "lambang pemerintahan …  di atas bahu-Nya" dan disebut "Raja Damai" (Yesaya 9:5). Dia sadar bahwa supaya kita dapat memiliki kedamaian dalam menghadapi kematian, maka Dia harus menghancurkan kuasa maut. Dia tahu bahwa dosa telah merusak hubungan kita dengan Allah, dan jika tidak ada penebusan, kita semua akan hidup di bawah ancaman penghakiman pada akhir zaman dan keterpisahan dari Allah.

Yesus sadar bahwa Dia akan mengalami keterpisahan dari Bapa dan bahwa Dia harus memikul hukuman yang seharusnya kita tanggung. Dia sangat memahami nubuat Nabi Yesaya, yang mengatakan:
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya, dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita mengira Dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan kesela-matan bagi kita ditimpakan kepada-Nya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh (Yesaya 53:4,5).

Alam menggambarkan kesedihan-Nya. Kegelapan yang tidak biasa menyelimuti bumi mulai dari pukul dua belas siang hingga tiga sore (Mr 15:33; Lukas 23:44,45), gempa mengguncang bumi, kain penutup Bait Allah terbelah dari atas sampai ke bawah, batu terbelah, kuburan terbuka (Matius 27:51,52).

Kita tidak dapat benar-benar memahami dalamnya iman Yesus  —  kedamaian yang ada di dalam hati dan keyakinan akan kasih Allah yang demikian kuat membuat Dia bersedia memikul kesedihan dan mati secara tragis untuk menggantikan posisi kita. Keberanian serta iman-Nya yang tidak tertandingi membukakan pintu surga bagi kita semua. Karena kepercayaan-Nya akan kasih Allah, dosa kita diampuni, dan kita dapat menyongsong kematian dengan kedamaian di dalam hati. Rasul Paulus menulis:
Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu (Roma 5:10,11).

Dan kemudian dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ia menambahkan:
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah menda-maikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelang-garan mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah (2Kor 5:17-21).

Dari sinilah kedamaian berawal. Damai dengan Allah menjadi landasan bagi kita untuk merasakan kedamaian saat kita berhadapan dengan apa pun juga.


Diringkas dari Buku Mengapa Tiada Damai di Dunia Ini?, Penyunting: C. Krismariana W, Yoygyakarta: Yayasan Gloria, 2009, halaman 13-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar