Oleh: B.S. Sidjabat
Pengantar
Sebagai orang Kristen kita percaya dan menerima
Yesus Kristus sebagai Mesias yang mengerjakan penebusan dan pengampunan dosa
bagi segenap umat manusia (Yoh 3:16; 1Pet 2:24; 1Kor 15:3-5). Atas dasar kesaksian Alkitab, kita juga bahkan
percaya bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia. Dia
ilahi dan sekaligus manusiawi secara sempurna, penuh kasih sayang dan anugerah
(Yoh 1:1-3, 14, 18).
Injil
mengemukakan bahwa barangsiapa yang percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan
dan Juru Selamat pribadinya, berarti berkedudukan dan berperan sebagai
murid-Nya. Dalam kedudukan sebagai murid, kita didesak untuk terus mengikut
Dia, menyangkal diri dan memikul salib (1Yoh 2:6; Mrk 8:34-35). Sebagai murid Kristus pun kita didorong untuk
terus bertekun mempelajari kebenaran yang diajarkan-Nya. Sebab, kebenaran yang
diajarkan Yesus adalah kebenaran yang sanggup mengerjakan perubahan hidup (Yoh 8:31-32; 17:17).
Yesus acapkali disapa sebagai Guru (Rabbi).
Dalam Yoh 13:13 bahkan Yesus sendiri menegaskan bahwa Dia memang
adalah Guru dan Tuhan. "Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan dan katamu itu
tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan." Karena Dia adalah Guru dan
Tuhan, maka sebagai murid-murid-Nya kita harus mengikuti teladan-Nya. Artinya,
pemikiranNya, sikap dan gaya hidup-Nya semua itu mewarnai pola pikir, sikap dan
perbuatan kita sehari-hari. Saat Yohanes kepada gereja mula-mula tegas
mengatakan bahwa siapa yang mengaku Yesus Tuhan ia wajib hidup sama seperti Dia
telah hidup. "Barangsiapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib
hidup sama seperti Kristus telah hidup" (1Yoh 2:6). Rasul Paulus menegaskan bahwa kalau kita sudah
menerima Yesus maka hidup kita, pikiran dan karya kita, harus berakar, berdasar
dan dibangun di atas Dia. "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita.
Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di
dalam Dia dan dibangun di atas Dia..." (Kolose 2:6-7). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menyatakan agar
mereka berpikir, merasa seperti Kristus sendiri telah mendemonstrasikannya (Flp 2:5)
Beberapa Studi Sekitar Pemikiran Yesus Kristus
Pandangan di
atas membawa kita kepada pengertian bahwa dalam memahami prinsip dan praktik
pelayanan di dalam atau melalui gereja pun hendaknya model Kristus Yesus Sang
Guru itu mengilhami diri kita. Kajian terhadap pengajaran dan pemikiran bahkan
gaya hidup Yesus sebagai pribadi telah banyak mengilhami teolog, penginjil,
konselor bahkan pendidik Kristen. John Howard Yoder misalnya, terpesona sekali
terhadap sikap Yesus bagi orang-orang miskin dan bagaimana Ia menghadapi kuasa
dan penguasa di zaman-Nya. Dalam The Politics of Jesus, Yoder mengungkapkan apa
artinya Yesus datang memberitakan Injil Kerajaan Allah bagi kaum miskin. Yoder
menyimak bahwa Yesus banyak sekali memperhatikan aspek sosial, politis dan etis
Kerajaan Allah itu sendiri, yang patut kita renungkan dan teladani. Kerajaan
Allah tidak saja memiliki dimensi vertikal, hubungan manusia dengan Tuhan
melainkan juga mencakup relasi dan perdamaian manusia dengan sesamanya.
Penelitian Yoder membawanya kepada pemahaman bahwa Yesus Kristus adalah
pembaharu kehidupan secara menyeluruh.
Pendekatan
yang sama juga diikuti oleh Donald Kraybill dalam The Upside Down Kingdom --
terjemahan diterbitkan BPK dengan judul "Kerajaan Yang Sungsang."
Kraybill menganalisis kehidupan Yesus berdasarkan Injil Lukas. Ia sangat
terpesona menyimak bagaimana Yesus menghadapi pencobaan Iblis yang bermakna
sosial dan politis serta ekonomis. Kraybill juga terpukau oleh sikap Yesus yang
menjungkirbalikkan pemahaman tokoh-tokoh agama Yahudi yang menantang mereka
untuk menyatakan kasih sejati terhadap kaum miskin serta keluar dari kesalehan
semu dan ritual. Yesus menjalankan tugas yang diamanatkan Sang Bapa dengan
pendekatan yang tidak pernah dipikirkan oleh tokoh agama dan pemerintahan
sezamanNya. Karena itu mereka sangat terkejut, bingung dan bereaksi negatif.
Klimaksnya ialah penyaliban Dia.
Di bidang
konseling Kristen, Duncan Buchanan dalam The Counseling of Jesus memberi
kesaksian bagaimana ia merubah pola pikirnya dalam strategi konseling. Di awal
bukunya, Buchanan menerangkan bahwa lebih kurang 25 tahun ia mengikuti teori
konseling humanistik dan behavioristik sebelum ditantang oleh seorang rekannya
untuk mendalami kehidupan Yesus. Setelah menggumuli kehidupan Yesus sebagaimana
diajarkan Injil, Buchanan menyimak betapa mengagumkan pendekatan konseling
Yesus. Bagi Buchanan, pakar dari Afrika Selatan ini, Yesus adalah konselor
teladan dan sejati! Buchanan menyatakan bahwa rahasia kuasa dan hikmat
pelayanan konseling Yesus bagi banyak orang bermasalah ialah terletak pada
relasinya yang dalam dan dinamis dengan Allah yang disapa "Bapa" atau
"Abba." Sapaan itu menyatakan keakraban dan keharmonisan relasi.
Kemudian, cara Yesus menghadapi orang yang menderita ketakutan, menghadapi
kemarahan, mengatasi konflik dan pertentangan, semua mengesankan hati Buchanan.
Ia tiba pada kesimpulan bahwa dalam teori, prinsip dan praktik konseling Yesus,
pertobatan dan pengampunan dosa amat ditekankan sebagai dasar kemerdekaan
batiniah. Karena itulah Yesus tak henti-hentinya memperkenalkan kasih Allah
melalui pengajaran, kehadiran dan perbuatan kuasa-Nya (mujizat).
Selain itu,
cara-cara kreatif Yesus menghadapi pribadi demi pribadi maupun kelompok dan
orang banyak di dalam pelayanan-Nya, telah dijadikan Buchanan sebagai bagian
dari teori konselingnya. Secara ringkas Buchanan menyimak bahwa Yesus bukanlah
penganut konseling directive atau non directive sebagaimana teori konseling
dewasa ini terkotak-kotak. Bagi Buchanan Yesus Kristus adalah konselor yang
sedemikian rupa menuntun orang untuk mengenal dan menjadi warga kerajaan Allah
di mana terdapat kebenaran yang menyembuhkan, memulihkan dan memerdekakan.
Raymond L.
Cramer adalah seorang psikiater yang terpesona oleh pengajaran Yesus khususnya
khotbah di Bukit yang terkenal itu (Mat 5:1-12). Dalam karyanya The Psychology of Jesus and Mental
Health, Cramer mengulas banyak mengenai penyebab tidak sehatnya mental manusia,
terutama oleh karena salah asuhan di masa kecil dalam keluarga dan lingkungan.
Atas dasar studinya terhadap pernyataan Yesus mengenai kebahagiaan hidup,
Cramer mengemukakan bahwa penegasan Yesus "Berbahagialah orang yang miskin
di hadapan Allah ... berdukacita ... lapar dan haus akan kebenaran...".
betul-betul merupakan dasar utama dalam pembinaan mental manusia.
Penegasan-penegasan Yesus itu disimak Cramer sebagai jawaban atas kebutuhan
manusia yang dilanda kecemasan, ketakutan, kesedihan, rasa kehilangan dan
sejenisnya. Dalam ucapan Yesus di bukit itu, Cramer menyimak rahasia yang amat
dalam bagaimana manusia dapat mengalami penyembuhan dari masalah batin maupun
mental yang menghambat selama ini. Misalnya saja, berdasarkan Mat 5:3 Cramer menyimak bahwa kebahagiaan sejati didapatkan
oleh siapa saja yang berada dalam situasi sulit karena bagaimanapun Allah
sedang dalam perbuatan memberikan pertolongan. Allah peduli dengan derita
manusia. Cramer mengaitkan hal itu dengan akar dan penyebab kecemasan dan
ketakutan. Kemudian Cramer menyimak Mat 5:6 mengemukakan bahwa kepuasan yang dikemukakan Yesus
dalam nats itu justru menjadi kebutuhan dasar dari orang yang tanpa alasan
sering merasa terganggu kejiwaannya karena orang lain (neurotik).
Robert E.
Coleman menguraikan strategi Yesus sebagai Pemberita Injil Kerajaan Allah dalam
karya-karya The Master Plan of Evangelism dan The Mind of The Master. Dalam
karya pertama, Coleman, dosen di Trinity Evangelical Divinity School, Amerika
Serikat, menyatakan kekagumannya akan pendekatan Yesus dalam rangka
memberitakan Injil 'Kerajaan Allah. Bagi Coleman, Yesus adalah model yang
sejati dalam hal pemberitaan Injil. Yesus datang melakukan pemberitaan Injil
melalui perkataan dan perbuatan secara terintegrasi. Selain itu, Yesus tidak
bekerja sendiri (single fighter). Dia mendoakan, memilih, melatih, mendampingi,
menugaskan, memberi perhatian bagi murid-muridnya. Kebersamaan dengan
murid-murid yang dipilih dan dilatihNya amat penting bagi Yesus dalam karya-Nya
selama tiga setengah tahun.
Dalam karya
kedua, Coleman melakukan studi mendalam, juga terhadap keempat Injil, lalu
mengemukakan apa Baja yang menjadi rahasia pribadi dan kehidupan Sang Pemberita
Injil itu. Menurut pemahaman Coleman, Yesus mendasarkan kehidupan-Nya dalam
ketergantungan dalam Bapa dan Roh Kudus. Roh Kudus menguasai kehidupan Yesus.
Kehidupan doa Yesus juga menjadi teladan yang tak bisa diabaikan, jika ingin
meraih sukses dan kemenangan dalam hidup dan pekerjaan. Selain itu, Yesus
senantiasa berdasarkan pada Kitab Suci dalam pekerjaan-Nya. Dia benar-benar
memahami arti dan dinamika Injil Kerajaan Allah itu. Selain jalan salib
merupakan pilihan utama bagi diri-Nya, visi sorga dan Kerajaan Sorga juga amat
terang dalam kehidupan dan pemikiran Yesus.
Bahwa Yesus adalah
seorang pemimpin dan pembuat pemimpin yang sukses, diungkapkan oleh Leighton
Ford dalam Transforming Leadership. Ford menyatakan bahwa rahasia kepemimpinan
Yesus terletak pada ketaatan-Nya kepada yang mengutus yakni Bapa. Sekalipun
Yesus adalah Mesias, namun Ia belajar dan mengembangkan strategi yang jitu
dalam hal memimpin. Ford menyimak bahwa Yesus tidak mengerjakan tugas sendirian
namun mencari calon pemimpin masa depan untuk mengemban misi-Nya. Karena itu
Dia mengajar, melatih bagaimana mengerjakan tugas kepemimpinan, khususnya
melalui kehambaan (servanthood). Yesus menegaskan kepada murid-muridNya bahwa
memimpin berarti menjadi gembala, mengajar, berkhotbah guna menyatakan visi
Kerajaan Allah. Dalam pemahaman Yesus, seorang pemimpin ialah seorang yang
bergumul dalam hal-hal sulit, rela menghadapi berbagai resiko, namun menopang,
memelihara dan membangun yang dipimpin.
Beberapa Studi Tentang Yesus Sebagai Guru
Di atas kita
telah menyimak beberapa studi berkaitan dengan kehidupan dan teladan Yesus
dihubungkan dengan etika, penginjilan dan konseling, berikut ini kita akan
membahas beberapa karya yang menyingkapkan prinsip dan praktek Yesus sebagai
pendidik dan pengajar. Romo
Banawiratma dalam "Yesus Sang Guru" secara khusus mengupas pekerjaan
Yesus sebagai Guru berdasarkan Injil Yohanes. Banawiratma menyimak begitu
banyaknya penegasan berkaitan dengan diri dan tugas Yesus sebagai Guru di dalam
Injil itu. Semua nats yang berkaitan dengan sapaan Guru dan murid dibahas.
Dalam tugas-Nya sebagai Guru, Yesus menekankan kebersamaan atau persekutuan.
Melalui persekutuan itu para murid melihat Yesus sebagai sosok yang penuh
dengan pengetahuan, hikmat dan wibawa atau kharisma serta kedalaman spiritual.
Sang Guru itu dilihat murid-murid-Nya sanggup menuntun mereka mencapai hidup
dan kemuliaan. Karena itulah para murid menggantungkan diri kepada Yesus.
Mereka rela belajar daripada-Nya. Sebaliknya, Yesus sebagai Sang Guru mereka,
menuntut kesetiaan, kerendahan hati, iman dan percaya bahkan ketaatan sampai akhir
dalam mengikuti perintah dan keteladananNya. Semua pemikiran keguruan Yesus ini
diperhadapkan oleh Banawiratma dengan keguruan yang diperankan oleh guru-guru
dalam komunitas kebatinan dan kejawen dalam masyarakat Jawa. Dialog itu amat
mengesankan dan berguna bagi pembinaan warga gereja.
Kehebatan
Yesus sebagai Pendidik maupun Pengajar telah mendorong Andar Ismail, dosen dan
pakar Pendidikan Agama Kristen (PAK) STT Jakarta menulis buku-buku pembinaan
warga jemaat di sekitar tema kehidupan Yesus. Dalam karya "Selamat
Mengikut Dia" dan "Selamat Paskah" misalnya, diungkapkan
bagaimana kehebatan Yesus dalam setiap kesempatan pekerjaan maupun
pelayanan-Nya yang amat kreatif, penuh kuasa dan wibawa. Andar Ismail ingin
mengajak para pembacanya untuk belajar lebih banyak dari diri Yesus Kristus
yang dikisahkan dalam Injil. Dalam tulisan "Selamat Mengikut Yesus,"
Andar menyinggung bagaimana Yesus sebagai manusia sejati pun belajar banyak
pada masa kecil-Nya. Itu juga salah satu faktor yang membuat diri-Nya tampil
sebagai Pengajar yang hebat. Kemudian dalam uraian mengenai peristiwa di jalan
menuju Emaus, Andar menyimak bagaimana kehebatan Yesus sebagai Pengajar
menghadapi murid yang keliru, lamban dan dalam ketakutan. Dalam keadaan
demikian, Sang Guru itu hadir, mendampingi, mendengar, mengajar dan bahkan
melayani. Perbuatan terakhir itulah yang mencelikkan pengertian kedua murid dan
segera membuat mereka berkobar-kobar menjadi saksi dari Yesus yang bangkit.
Andar seolah ingin menyatakan kepada para pembacanya, betapa hebat ilmu dan
filsafat mengajar Sang Mesias itu! Itu patut dan harus diteladani!
Dalam
tulisannya yang lain, Witnessing for Jesus secara jelas ia mengemukakan siapa
Yesus yang perlu kita beritakan melalui kehidupan. Menurutnya, Yesus itu unik
dalam kepribadian, dalam kehidupan bahkan pengajaranNya. PengajaranNya
transformatif, mengubah hidup. Dalam satu bagian karya itu, ia mengatakan:
"Yesus itu unik. Dia menawarkan dasar hidup dan sikap baru. Dia
menghadirkan pendekatan baru terhadap hubungan manusia dengan Allah serta
dengan sesama-Nya. Dengan berjalan di belakang Yesus, kita akan hidup secara
berbeda, dalam arti lebih tulus dan lebih manusiawi. Sebab dalam Yesuslah kita
simak kemanusiaan sejati yang tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk
Allah dan sesama-Nya. Dalam Yesus kita lihat model bagi pandangan dan praktek
kehidupan. Dengan mengikut Yesus, kita dapat hidup dengan suatu kehidupan oleh
pertolongan Allah guna mampu menolong sesama." Pemikiran inilah yang
mendasari gagasannya mengenai strategi bersaksi bagi Yesus melalui gereja di
dalam dunia, agar rela menanggung harga dan juga menunaikan tugas kesaksian
melalui pendidikan.
Herman H.
Horne dalam karya klasiknya Teaching Techniques of Jesus mendasarkan
pemikirannya mengenai pendidikan dan pengajaran pada prinsip pengajaran Yesus
guna menolak gagasan pendidikan John Dewey yang amat humanis masa itu di
Amerika. John Dewey menolak pelajaran agama Kristen diberikan di sekolah umum.
Bagi Dewey sekolah harus mengarahkan anak didik menjadi dirinya sendiri oleh
kekuatan yang ada padanya. Para guru di sekolah harus belajar teori dan praktek
keguruan dari sumber-sumber ilmiah dan rasional, bukan dari tradisi agama
Kristen. Sebaliknya bagi Horne, kehidupan dan ajaran Yesus harus menjadi dasar
filsafat guru Kristen. Dalam rangka pembentukan filsafat itu, Horne
mengemukakan bahwa peristiwa di mana Yesus mengajar seorang wanita di Samaria
dan menuntunnya dari kebodohan kepada keputusan menerima Sang Mesias, merupakan
perbuatan yang menakjubkan. Horne terpesona terhadap pendekatan Yesus yang
akrab, simpati, dan empati, bersifat mendorong dan menantang hingga mendesak
untuk mengambil keputusan atau pilihan yang tepat. Banyak lagi bagian kitab
Injil yang menarik perhatian Horne berkaitan dengan tugas Yesus sebagai
Pendidik dan Pengajar. Berdasarkan penelitiannya terhadap nats keempat Injil,
Horne membangun pemahamannya atas dasar bagaimana Yesus menarik perhatian murid
atau audiens-Nya; membangun jembatan komunikasi; merumuskan dan mencapai
tujuan-Nya; mengajukan dan menyelesaikan masalah; bercakap-cakap secara
pribadi; bertanya dan menjawab pertanyaan; menguraikan pengajaran; mengemukakan
contoh atau ilustrasi; menggunakan Kitab Suci; memakai situasi menjadi bahan
pengajaran; memulai pengajaran; membuat perbandingan; memberi nilai terhadap
apa yang diamati; menggunakan simbol; menghadapi pribadi, kelompok, maupun
massa; mendorong dan bahkan mengajar anak-anak.
J.M. Price,
dalam karya "Yesus Sang Guru" mengetengahkan kekagumannya juga
terhadap pribadi dan praktek Yesus khususnya sebagai pengajar. Ada empat hal
yang menarik yang dikemukakan oleh Price dari studinya terhadap hidup dan
pekerjaan Yesus sebagai pengajar. Pertama,
wewenang Yesus sebagai pengajar. Wewenang Yesus sebagai pengajar nyata dari
pernyataan-Nya, pernyataan murid-murid dan pengakuan orang lain, seperti
Nikodemus seorang tokoh Farisi (Yoh 3:1-2). Wewenang itu nyata pula dalam perbuatan kasih-Nya
bagi banyak orang. Dia mengajar atas dasar Firman Allah serta secara cakap
membaca hati orang-orang yang dihadapiNya. Kedua,
kehebatan Yesus dalam menghadapi murid-murid-Nya dengan latar belakang yang
berbeda. Murid-murid yang Dia latih dan bina, menurut Price ialah pribadi dan
kelompok yang belum berkembang, impulsif, berdosa, kacau pikiran, bodoh,
berprasangka dan tidak stabil. Ketiga,
Price menyimak Yesus sebagai pribadi yang mengajar secara terus terang dengan
tujuan yang jelas pula. Tujuan Yesus dalam mengajar ialah membentuk cita-cita
luhur dalam diri para murid-Nya, membentuk keyakinan yang teguh, memiliki
hubungan dengan Allah dan sesamanya. Para murid didorongNya agar kreatif
menghadapi masalah hidup sehari-hari dan memiliki watak yang bagus dalam
menjalankan tugas pelayanan. Pengajaran Yesus berhasil dalam rangka mengangkat
derajat para murid, mengubah kehidupan mereka agar percaya kepada-Nya. Keempat,
Yesus adalah pengajar dengan visi yang jelas dan besar yakni berkaitan dengan
Kerajaan Allah. Menurut Price, Yesus senantiasa menyesuaikan pengajaran-Nya
dengan keadaan dan kebutuhan para murid. Dia menyentuh suara hati mereka serta
merangsang mereka untuk aktif berbuat. Bahan pengajaran Yesus diambil dari
Perjanjian Lama diintegrasikan dengan peristiwa alam dan peristiwa yang hangat
yang sedang terjadi. Dia menggunakan pepatah, ilustrasi, perumpamaan dalam
memulai atau dalam menjalankan pengajaran. Bagi Price, susunan pengajaran
pengajaran Yesus amat menarik, diawali pendahuluan, isi dan kesimpulan.
Singkatnya, menurut price, metode Yesus amat variatif karena mencakup cerita,
ceramah dan tanya jawab.
Suster
Regina M. Alfonso membuat kajian yang begitu teliti terhadap nats Alkitab dalam
Injil untuk mengetengahkan bagaimana tehnik Yesus dalam mendidik dan mengajar.
Dalam How Jesus Taught: The Methods and Techniques of the Master, Alfonso
mengemukakan alasan hingga begitu terpesona terhadap teknik pendidikan dan
pengajaran Yesus. Selama dua belas tahun mendalami Injil ditambah pengalaman
mengajar selama tigapuluh enam tahun di berbagai tingkat pendidikan, ia
bertambah yakin bahwa tehnik pekerjaan Yesus Sang Guru amat relevan dengan
dunia pendidikan masa kini.
"The
teaching methods of Jesus are just as effective today as they were when he used
them. His ideas are applicable for teachers of all levels and all areas of the
curriculum, since sound principles built on the knowledge of learning and
learners should be applied by any teachers".
Dari keempat
Injil Regina menyusun bukti-bukti dalam situasi atau kesempatan apa saja Yesus mengajukan
atau menjawab pertanyaan, memakai ilustrasi atau perumpamaan, menarik perhatian
dan sejenisnya yang berkaitan dengan teknik mengajar.
Pada awal
tabun 90-an, Matt Friedeman (The Master Plan of Teaching, 1990) mengetengahkan
hasil kajiannya mengenai keteladanan Yesus sebagai guru. Pertama, Friedeman
memahami bahwa Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia (inkarnasi) dan
sebab itu Ia seratus persen manusiawi. Apakah artinya ini? Menurut Friedeman,
sebagai guru kita harus meneladani Yesus Sang Guru dalam hal kuasa dan hikmat
yang berasal dari Roh Allah. Kebergantungan Yesus yang amat sempurna kepada
Allah Bapa itu harus mewarnai pola pikir dan sikap kita jika ingin berhasil
dalam tugas mengajar atau mendidik. Selain itu, teladan Yesus sebagai manusia
sejati yang rela belajar, harus mendorong kita untuk rela berlatih, belajar
mengembangkan diri dalam karunia yang Allah berikan guna mengajar orang lain. Kedua,
Friedeman menyimak bahwa sebagai Guru Agung, Yesus tahu apa Yang diperbuat-Nya
dan mengerti bagaimana melaksanakan atau mewujudkannya. Yesus pun berkarya atas
dasar tujuan yang jelas, yakni membina murid agar mengerti serta mengalami
kekudusan Allah. Murid diajarNya agar menyadari diri sebagai hamba. Murid pun
diajar agar hidup dalam relasi kasih dengan sesamanya. Friedeman menegaskan
model ini untuk terus kita ingat dan kembangkan. Sebagai guru, kita adalah
hamba yang melayani sesama, serta mengarahkan mereka berdamai dengan Allah. Ketiga, bagi
Friedeman cara Yesus melaksanakan tugas-Nya sebagai Guru amat mengagumkan.
Yesus memang unik namun Dia menjadi sama dengan (identifikasi) murid-murid-Nya
dan dengan orang-orang lain yang dilayaniNya. Dia membaca apa kebutuhan mereka,
pergumulan serta tingkat pengertian mereka. Dia "menjadi satu" dengan
berita yang disampaikan. Karena itu, menurut Friedeman, tidak heran mengapa
Yesus begitu berotoritas. Hal itu tampak dalam pernyataan-Nya: "Aku
berkata kepadamu..." atau "Aku adalah..." Teladan Yesus dalam
kerelaan menjadi sama dengan orang yang dilayani ini, menurut Friedeman
merupakan perkara yang harus berkembang dalam hati seorang guru jika ia hendak
membawa pembaruan. Keempat,
Friedeman menyimak bahwa Yesus senantiasa mengarahkan murid mencapai target
dalam hal apapun yang diperbuat mereka. Relasi di antara murid merupakan
komunikasi itu sendiri. Artinya, relasi tidak hanya sebatas kata, ucapan dan
peristiwa sewaktu-waktu. Kebersamaan di antara Yesus dan murid-murid-Nya adalah
komunikasi dan relasi. Selain itu waktu dalam kebersamaan, bagi Yesus amatlah
penting dalam rangka mewujudkan cita-cita-Nya. Dalam mengajar, Yesus membuat
murid-murid aktif dan senantiasa di dalam keaktifan, apakah berpikir, merasa
dan memberi respons serta berbuat. Dia mengajar sambil berjalan dan berbuat.
Dia pun mengajar melalui perbuatan nyata seperti mujizat, diskusi dan tanya
jawab. Dia senantiasa memberi dorongan untuk bertindak. Friedeman menyimak
teladan ini harus mendasari nilai hidup dan pemikiran guru. Artinya, dalam
perbuatan mendidik maupun mengajar, guru harus menekankan kebersamaan,
keaktifan dengan tujuan jelas. Kelima,
Friedeman mengungkapkan bahwa Yesus tidak saja mendekati dan melayani orang
banyak (massa) melainkan juga memberi perhatian bagi kelompok kecil hingga ke
pribadi lepas pribadi. Dalam mencapai dunia dengan Injil, Dia nadir di
Palestina di kalangan umat Yahudi. Di kalangan umat itu, Yesus mempunyai
kelompok pengikut besar seperti kelompok 5000 orang, 4000 orang, 500 orang, 70
orang, 12 orang hingga ke pribadi-pribadi inti yakni Petrus, Yohanes dan Yakobus.
Apakah artinya ini? Menurut Friedeman, strategi membawa perubahan tidak dapat
dilakukan hanya dengan satu pendekatan. Setiap kesempatan berinteraksi dengan
manusia apakah pribadi atau kelompok bahkan dengan massa, mesti diupayakan
dengan baik dan tepat. Dewasa ini guru juga dapat mempunyai kelompok inti dan
kelompok kecil yang dapat ia jadikan sebagai pembawa pengaruh besar dalam
artian positif.
Howard G. Hendricks
dalam tulisannya Following The Master Teacher (dalam The Christian Educator's
Handbook on Teaching, 1988) mengemukakan empat hal yang patut bahkan harus
diteladani dari diri Yesus Kristus Sang Guru. Pertama, guru mesti meneladani
Dia sebagai pribadi kongruen, realistis dan relasional. Kedua, guru perlu
mencermati Dia yang punya berita yang berasal dari Bapa, relevan bagi manusia,
orotitatif dan efektif. Ketiga, guru patut memahami Dia yang kreatif mendorong
atau membangun semangat dengan kasih, penerimaan dan peneguhan (afirmasi).
Keempat, guru harus meneladani Dia yang mengajar dengan metoda kreatif seperti
terlihat dalam pertanyaan dan perumpamaan-Nya, bersifat unik, memikat dan
berkembang.
Lebih Dari Guru Biasa
Setelah
melihat contoh-contoh bagaimana orang membangun pemikiran dan pemahamannya
tentang pekerjaan berdasarkan keteladanan Yesus, menurut penulis kita juga
harus mendalami Injil untuk mengerti pribadi dan kehidupan Yesus sebagai
Pendidik maupun Pengajar. Penulis
ingin menyajikan suatu gagasan secara garis besar untuk dapat dikembangkan
pembaca secara lebih jauh. Sapaan
terhadap Yesus sebagai Rabbi (Aram) artinya "mengajar" (Yun.:
didaskalos). Dalam Injil Lukas, Yesus malah disapa sebagai epistata, sebutan
resmi bagi seorang pejabat, pengawas dan penguasa serta pemelihara. Hal ini
terlihat dalam konteks Yesus dimuliakan si atas gunung (Luk 9:33); dalam konteks kecemasan para murid (Luk 9:49); dalam konteks setelah angin ribut diredakan (Luk 8:24); dalam konteks pemanggilan beberapa penjala ikan (Luk 5:5); dan dalam konteks seorang kusta meminta kesembuhan (Luk 17:13). Tampaknya Lukas ingin menunjukkan bahwa Yesus
adalah pribadi guru berotoritas, bukan hanya sebagai pengajar biasa layaknya
orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman-Nya. Memang, di samping sapaan sebagai
epistata tadi, Yesus juga dipanggil sebagai didaskale sebagaimana terdapat juga
dalam tulisan Lukas lainnya (7:40; 9:38; 10:25; 11:45; 12:13; 18:18; 19:39; 20:21,28,39; 21:27).
Injil Matius
menggunakan sapaan kyrie yang berarti "Tuhan," terhadap Yesus sebagai
guru (8:25; 17:15). Menurut Matius, murid-murid memandang Yesus
bukan saja sebagai guru biasa namun juga sebagai Tuhan yang berkuasa. Matius
memang tidak mengabaikan sapaan Yesus sebagai Rabbi seperti oleh Yudas Iskariot
(Mat 26:25,49) dan sebagai didaskale oleh orang banyak (Mat 19:16; 22:16,24,36). Yang menarik lagi ialah bahwa Matius
mencatat otoritas Yesus atas diri-Nya sebagai Rabbi. Mereka tidak diperbolehkan
oleh Yesus untuk dipengaruhi oleh para rabbi lain (Mat 23:8-10). Matius hendak menegaskan bahwa hanya Yesus saja
Rabbi yang berotoritas dan di luar Dia tidak ada. Sesama murid adalah saudara.
Dalam Injil
Markus, Yesus juga disebut sebagai Rabbi oleh para murid. Misalnya oleh Petrus
dalam konteks peristiwa di atas gunung (Mrk 9:5); juga oleh murid ketika mereka melihat bagaimana pohon
ara yang dikutuki Yesus menjadi layu (Mrk 11:21); serta oleh Yudas di taman Getsemani (Mrk 14:45). Orang buta yang meminta kesembuhan, menurut Markus
malah menyapa Yesus sebagai rabbouni (Aram) (Mrk 10:51). Sapaan sebagai didaskale selain digunakan oleh
para murid (4:38; 9:38; 10:35; 13:1), juga diungkapkan oleh orang-orang
luar (9:17; 10:17,20; 12:14,19,32).
Dalam Injil
Yohanes, Yesus disapa oleh para murid sebagai didaskale (Yoh 1:38; 20:16); sebagai rabbi (Yoh 1:38, 49; 4:31; 9:2; 11:8). Orang luar rnenyapa Yesus
sebagai rabbi pula (3:2; 6:25). Satu sebutan rabbouni dari wanita yakni Maria
Magdalena (Yoh 20:16). Bahwa Yesus
adalah Pendidik dan Pengajar berotoritas tampak pula dalam kalimat hikmat dan
kuasa-Nya. Hal tersebut dinyatakan melalui berbagai kesempatan. Dia menyatakan
melalui pengajaranNya yang berkuasa dan menantang serta berwibawa (Mat 11:16-19,25f, 12:42; 23:37-39; 11:28-30). PengajaranNya lain dari ajaran
para rabbi Yahudi sezamanNya, karena Yesus mengungkapkan pesan-pesan bermakna
eskatologis di sekitar tema kedatangan Anak Manusia di dalam kemuliaan-Nya (Mat 7:26-29; 24:35; Mrk 8:38).
Kitab Injil
juga mengetengahkan bahwa konteks pengajaran Yesus bervariasi. Seringkali Ia
mengajar di sinagoge ketika ibadah pada hari Sabat (bdk. Luk 4:16-17). Dalam peristiwa semacam itu Dia mendapat tugas
apakah membaca dan menguraikan isi Kitab Suci. Kalau Kitab Suci yang Dia baca
berbahasa Ibrani, maka Ia berkhotbah menerjemahkan dan menguraikan isi kitab
dalam bahasa Aram. Kadang-kadang Ia juga bertindak sebagai imam. Ketika
berdebat dengan tokoh-tokoh agama Yahudi, Yesus memberikan jawaban dan
pengertian-pengertian baru dalam bahasa Aram, Ibrani bahkan Yunani. Lihat saja
misalnya penjelasan Yoh 12:20-36 ketika orang-orang Yunani ingin bertemu dengan
Dia. Yesus pun
mengajar ketika memberitakan Injil terhadap orang banyak dengan tekanan pada
tema kasih dan Kerajaan Allah (Mat 4:13; 9:1; Mrk 1:29; 2:1f). Jadi, pemberitaan Injil dapat dilakukan
dengan pendekatan mengajar! Dalam konteks pemuridan atau tepatnya melatih dan
membentuk murid-murid, Yesus banyak sekali mengajar (Mrk 1:16-20; Luk 9:52-62). Dia menegur mereka bila keliru; Dia meluruskan
pikiran mereka yang bengkok dan menegaskan apa yang telah mereka mengerti.
Akhirnya kita lihat pula dalam Injil bahwa Yesus mengajar murid-murid secara
khusus, di mana mereka mendengar, melihat dan mencontoh Dia. Dalam proses
pemuridan, loyalitas terhadap Dia sangat ditekankan (Mrk 3:13-19; 23:9-10).
Sebagai
Guru, Yesus menetapkan aturan etis di antara para murid. Ada etika relasi
ditekankan. Sesama murid harus belajar menerima sebagai saudara di antara satu
sama lain. Tidak ada yang memandang diri lebih besar (Mat 18:13; 20:20-28; Mrk 10:35-45). Tidak heran bila gagasan ini mengilhami Paulus
di kemudian hari yang mendesak jemaat Kolose agar berakar dalam Firman Tuhan
sehingga dapat saling membangun dan mengajar (Kol 3:15,16). Dalam konteks pendidikan dan pengajaran-Nya,
Yesus melakukan tugas pengutusan. Para murid yang mendapat contoh, pengajaran,
kuasa dan hikmat dari Dia diutus untuk mendemonstrasikan di tengah-tengah
bangsa Israel sendiri. Hal ini merupakan persiapan mereka kelak apabila secara
penuh memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat 10; Mrk 6:6-11; Luk 9:1-5; 10:1-12). Jadi, Yesus benar-benar sebagai Guru yang
menekankan praktik, bukan hanya pada teori atau pengajaran.
Isi ajaran
Yesus sebagaimana dikemukakan oleh kitab Injil sangat kaya. Artinya, dalam
Kitab Injil kita melihat bahwa Yesus mengajar murid dan para pendengar-Nya untuk
mengenal, mengerti, memahami bahkan mengalami relasi yang indah dengan Allah
yang dapat disapa sebagai "Abba" atau "Bapa." Ajaran Yesus
mengenai Allah sebagai Bapa, sebagai Pencipta dan sebagai Raja yang penuh kasih
namun tegas dan konsisten, amat mengesankan murid-muridNya. Yesus memperjelas
arti, dimensi dan dinamika Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga pula kepada
murid-murid dan audiens-Nya. Melalui pengajaran langsung, melalui perumpamaan,
bahkan melalui perbuatan kasih dan kuasa, Yesus menyatakan berbagai tanda
kedatangan Kerajaan Allah itu. Tak kalah pentingnya ialah bahwa dalam ajaran
Yesus, Dia memperkenalkan siapa diriNya; terkadang dengan sebutan Anak, Anak
Manusia dan Utusan Bapa. Misalnya dalam Injil Yohanes, berulangkali Yesus
menegaskan, "Aku adalah...." (Yun.: ego eimi). Di samping itu, Dia
nyatakan diri-Nya melalui perbuatan kasih dan keajaiban. Misalnya, air berubah
menjadi anggur, seorang lumpuh di tepi kolam Betesta dapat berjalan dan seorang
buta dapat melihat serta seorang yang mati dan terbaring di kubur selama empat
hari dapat bangkit kembali.
Yesus sangat
menekankan kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan manusia. Dia mengajarkan siapa
dan apa perbuatan Roh Kudus bagi murid-muridNya secara khusus (Yoh 14:25-26; 16:11-13). Dia juga menyatakan bahwa hujat
terhadap Roh Kudus merupakan dosa yang tidak terampuni karena dengan begitu
orang tidak sadar lagi terhadap dosanya dan mengenai perlunya ia menyambut
anugerah Allah (Mat 12:28). Dia juga mendesak agar murid-muridNya berdoa untuk
kedatangan Roh Kudus. Yesus juga
mengajarkan banyak perkara mengenai manusia, keadaan, asal mula dan tujuan
akhir dari kehidupan. Manusia diajak, untuk mengenal kekuatan dan kelemahannya
yang penuh dengan dosa dan kejahatan (Mrk 7:15-23). Manusia harus menerima kasih Allah agar dirinya
bermakna dan berharga. Manusia harus mengutamakan Yesus, Anak Allah itu dalam
hidupnya, serta menjadikan Dia di depan setiap langkahnya, agar hidupnya
menjadi terarah dan berarti. Manusia tidak saja dipanggil mengasihi Allah tetapi
juga mengasihi sesamanya sebagai diri sendiri (Mat 22:37-39). Berita Injil itu harus disampaikan juga kepada
sesamanya, agar mereka juga diselamatkan (Mat 28:18-20).
Ajaran Yesus
tidak saja menyangkut soal dogma atau doktrin. Dia juga memberikan pengajaran
berkaitan dengan ibadah, seperti doa, memberi sedekah dan berpuasa. Dia tidak
menginginkan orang percaya beribadah secara lahiriah namun batin mereka penuh
kecemasan dan kekuatiran (Mat 6:1-34). Dia mengajar audiens-Nya, agar tidak membatasi
ibadah kepada hal-hal ritual melainkan juga pada perbuatan kasih secara nyata.
Di samping itu, Yesus pun mengajarkan bahwa orang harus mempersembahkan dirinya
dengan kasih kepada Tuhan sebagai bagian dari ibadahnya. Dengan cara yang sama,
Yesus mendidik murid-murid-Nya sebagaimana menggunakan harta, kekayaan, uang
dan waktu secara kreatif bagi Tuhan dan bagi sesama. Dia tidak mengajarkan agar
orang diperbudak uang, melainkan memahami nilai uang dari sudut nilai Kerajaan
Allah yang kekal (Luk 16:9-12). Uang harus digunakan untuk menyatakan tanggung
jawab terhadap negara juga terhadap Tuhan (Mrk 12:13-17). Herbert Lockyer dalam All The Teachings of
Jesus sangat komprehensif membicarakan apa Baja yang menjadi isi atau bahan
pengajaran Yesus Sang Guru Agung itu.
Metode
mengajar Yesus yang berkesan dari Kitab Injil, sebagaimana dikemukakan oleh
Donald Guthrie, dalam A Shorter Life of Christ, amat kreatif, bervariasi dan
penuh hikmat serta kuasa. Guthrie menyimak bahwa dalam mengajar beberapa
karakter penting dari Yesus sangat nyata dan penting sebagai pemikiran bagi
kita yakni: (a) Penyesuaian diri-Nya yang tinggi terhadap audiens; (b)
Pemakaian retorika dalam pengajaran-Nya; (c) Pemakaian logika dalam dialog atau
tanya jawab; (d) Pengulangan gagasan untuk menekankan kebenaran; (e) Yesus tak
lupa menggunakan berbagai ilustrasi; (f) Yesus senantiasa tak ketinggalan dengan
humor: (g) Yesus pun memakai puisi; (h) PemakaianNya yang amat sering terhadap
nats atau gagasan Perjanjian Lama dalam khotbah dan diskusi; (i) Warna dan
bentuk-bentuk perumpamaan-Nya.
Yesus
sebagai Pendidik melebihi tri tugas pendidikan yang kita kenal di Indonesia.
Pendidikan di Indonesia mengenal tugas guru yang harus berada di depan, di
tengah-tengah atau di antara serta di belakang murid-murid-Nya. Membaca keempat
Injil, Kita akan kagum menyimak bahwa Yesus lebih daripada itu. Mengapa
demikian? Pertama, Yesus memang berada di depan murid-murid-Nya untuk menjadi
teladan. Dia memimpin mereka dalam berbagai perjalanan. Dia menghadapi
tokoh-tokoh agama Yahudi di depan murid-murid-Nya. Kedua, Yesus memang berada
di tengah-tengah para murid karena membina mereka melalui persahabatan dan
persekutuan yang indah dan hangat. Yesus tinggal bersama-sama dengan
murid-murid-Nya dari kelompok duabelas secara khusus. Para rasul pada kemudian
hari tak melihat satu kesalahan atau kejahatan pun ada pada diri Yesus Kristus (bdk.
1 Pet. 2:24;3:18). Ketiga, Yesus berada di belakang mereka,
memberikan arahan, dorongan, koreksi bahkan pengawasan. Ketika para murid
menaiki perahu di danau Galilea, dari kejauhan Yesus mendoakan mereka. Ia tahu
kalau mereka berada dalam bahaya karena diterpa oleh angin ribut. Seketika Baja
Yesus datang memberikan pertolongan. Akhirnya, Yesus berada di dalam mereka
melalui kehadiran Roh Kudus. Hal ini semakin nyata setelah masa kebangkitan dan
kedatangan Roh Kudus (hari Pentakosta). Karena itu, Yesus menegaskan bahwa
hubungan-Nya dengan murid ialah seperti pokok anggur dengan rantingnya. Yesus
ingin berdiam di hati murid-murid dan sebaliknya para murid juga harus tinggal
di dalam Dia, dalam kasih dan firman-Nya sehingga hidup mereka berbuah banyak,
guna mempermuliakan Allah Bapa (Yoh 15:4-16). Paulus memahami tugas ini sehingga ia menyatakan
kepada jemaat di Kolose bahwa Kristus Yesus ada di tengah-tengah mereka (Kol 1:27). Paulus sendiri merasakan kuasa Yesus dalam dirinya
dalam segala keadaan (Kol 1:28,29; Gal. 2:19-20).
Dapat
disimpulkan bahwa pribadi dan kehidupan serta pengajaran Yesus Sang Guru Agung
amat mengesankan. Penulis malah menjadikan gagasan ini sebagai dasar filsafat
pelayanan khususnya filsafat pendidikan. Tema kajian Yesus Sang Guru, telah
lama menjadi pokok yang tidak henti-hentinya penulis dalami. Penulis mengimbau para
pembaca yang budiman untuk merenungkan kehidupan Yesus Sang Guru sebagai sumber
inspirasi bagi tugas dan pekerjaannya. Dialah sosok ideal yang harus kita tiru.
Bukan hanya menjadi teladan kita, tetapi Dia juga adalah Pribadi yang sempurna
yang mampu menanamkan benih kesempurnaan itu dalam diri kita, agar kita hidup
sempurna sebagaimana kehendak Allah (Mat 5:48). Di dalam Dia dan oleh Dia kita menemukan keutuhan
hidup. Di dalam dan melalui Dia pula kita mengerti dan memahami makna
sesungguhnya menjadi manusia. Bahwa kita mampu mengerti hal demikian oleh
karena Yesus Kristus, menyatakan bahwa Dia memang Pendidik dan Pengajar ulung.
Referensi:
Alfonso,
Regina M. How Jesus Taught: The Methods and Techniques of The Master. Alba House, 1986.
Banawiratma,
J.B., Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen Dengan Injil. Kanisius, 1977.
Buchanan,
Duncan. The Counseling of Jesus. IVP, 1972.
Coleman,
Robert E. The Master Plan of Evangelism. Revell, 1970.
Cramer,
Raymond L. The Psychology of Jesus and Mental Health. Zondervan, 1959.
Ford,
Leighton. Transforming Leadership. IVP, 1991.
Fiedeman,
Matt. The Master Plan of Teaching. Victor, 1990.
Guthrie,
Donald. A Shorter Life of Christ. Zondervan, 1970.
Hendrics,
Howard G. "Following The Master Teacher." The Christian Educator's
Handbook on Teaching (K.O. Gangel & H.G. Hendricks eds.). Victor, 1988.
Home,
Herman. Teaching Techniques of Jesus, 1920.
Ismail,
Andar. Selamat Paskah. BPK, 1995
_______,
Selamat Mengikut Dia. BPK, 1994.
_______,
Witnessing for Jesus. BPK, 1994.
Kraybill,
Donald B. Kerajaan yang Sungsang. BPK, 1993.
Lockyer,
Herbert. All The Teachings of Jesus. Harper, 1991.
McKenna,
David. The Jesus Model. Wordbook, 1977.
Price, J.M.
Yesus Sang Guru. (Terj.) LLB, 1975.
Riesner, R.
"Teacher," Dictionary of Jesus and The Gospels. IVP, 1992.
Sidjabat,
B.S. Menjadi Guru Profesional. Kalam Hidup, 1994.
Yoder, J.H. The Politics
of Jesus. Eerdmans, 1972.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar