Oleh:
TH. Sumartana
Kesibukan ber-Theologi
kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan
persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kurang kita pergumulkan
kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka
terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, Theologi kita tidak punya komitmen yang
sungguh-sungguh terhadap masa depan.
Kecuali
itu, dalam lingkungan akademis Theologi kita juga tidak punya referensi pada
perkembangan ilmu social pada umumnya, sehingga prespektif berpikirnya
cenderung berpusing-pusing mengitari diri sendiri. Di sana-sini sekedar sebagai
ungkapan yang merupakan pergumulan sepenggal, tidak utuh dan tidak mempunyai
gaung yang mampu merangsang orang untuk memberikan tanggapan. Sebenarnya
perlu kita akui, bahwa ada cukup banyak fragmen yang terserak-serak yang
merupakan buah pikiran reflektif sesaat, namun belum dipadukan dalam sebuah
susunan yang menyatu. Dalam
keadaan “impase” semacam itu diperlukan pemikiran terobosan yang bisa
ditawarkan sebagai sebuah kemungkinan pengganti. Sebuah alternative guna
mengawali komitmen ber-Theologi yang berangkat dari pengalaman nyata. Dan
dengan demikian lebih punya kemungkinan untuk ditumbuhkan menjadi sebuah
diskursus, untuk merangkai usaha berTheologi lebih utuh dan berkesinambungan.
Untuk
itu, melalui tulisan ini saya ingin mengemukakan beberapa askpek pemikiran
tentag Theologia religionun (Theologi agama-agama) dan berusaha mengaitkannya
dengan persoalan pluralism agama. Pengantar umum ini tidak akan dimulai dengan
definisi ketat, namun lebih akan memberikan ilustrasi tentang perlunya memulai
sebuah diskursus Theologi. Dengan cara memaparkan masalah serta pilihan-pilihan
yang kita hadapi sejelas-jelasnya. Saya sendiri berharap bahwa
pemikiran-pemikiran yang akan ditawarkan dalam tulisan ini cukup mampu
memberikan pijakan dalam upaya terobosan dalam mencari kemungkinan lain dari
kehidupan berTheologi yang genap seperti yang terjadi di tengah kehidupan
gereja-gereja sekarang ini.
Tantangan
Pluralisme
Pertanyaan
yang hendak kita pergumulkan bersama adalah, tantangan pokok macam apakah yang
dihadapi oleh agama-agama sekarang ini? Dan bagaimana tantangan tersebut telah
memberi dampak pada agama-agama; serta bagaimana agama-agama member respons
terhadap tantangan tersebut? Perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi, dan
bagaimana perubahan itu mempengaruhi pola pemikiran institusi dan kegiatan
agama-agama? Bagaimana pula tantangan tersebut akan mewarnai masa depan dari
agama-agama serta hubungan antar agama-agama?
Tantangan
agama yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu
kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa pluralism merupakan
satu-satunya tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan
dengan sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan presepsi yang benar
tentang dunia dan masyarakat di mana mereka hidup. Pluralisme telah menjadi
ciri esensial dari dunia dan masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan
menjadi sebuah kampung kecil dimana umat manusia hidup bersama di dalamnya.
Kelompk-kelompok masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu
terhadap yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang
tadinya mengisolasi kelompok-kelompok agama di masyarakat.
Pluralism
bukan sekedar multiplikasi keperbagian, bukan hanya ekstentif, akan tetapi
kualitatif. Pluralism masa sekarang, jenis, bentuk dan isinya berbeda dengan pluralism
yang kita alami di masa lampau. Pluralism masa lampau menuntut suatu respon
kerukunan, koeksistensi, dan keserasihan hidup dari kelompok-kelompok agama di
masyarakat. Corak keperbagian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita
baru mengalaminya; akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau
kita tidak mempedulikannya maka kita akan digilasnya.
Pluralism
di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses
emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah menampilkan
emansipasi bersama dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang bisa
bilang sesuatu pihak tak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa
dikatakan, bahwa pluralism jenis yang sekarang ini tampil bersama dengan
kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan
semacam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta menanggapinya secara
baru.
Juga
secara kuantitatif, pluralism di masa sekarang jumlahnya lebih banyak dan lebih
kompleks dibanding dengan yang ada di masa lampau. Ini yang disebut
multiplikasi keperbagian. Muncul kombinasi-kombinasi serta berbagai bentuk
campuran dari berbagai agama yang muncul yang menambah jumlah kelompok-kelompok
agama tersebut, baik secara intern maupun ekstern. Di suatu pihak kita melihat
jumlah suatu denominasi gereja bertanbah, tetapi jumlah agama bertambah pula.
Ada gejala yang kita sebut “New Age”, ada begitu banyak “sekte-sekte” sempalan
yang merupakan campuran dari berbagai macam agama, dan juga kombinasi agama
dengan berbagai bentuk ideology.
Respon Terhadap
Tantangan Pluralisme
Pertanyaan
yang mendasar yang dihadapi dalam mencari format Theologi yang memadai untik
menghadapi pluralism adalah “apa arti kenyataan pluralism tersebut bagi
gereja-gereja?” Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam
komunitas keagamaan tertentu untuk menentukan refleki atau pemikiran yang
runtut tentang kesadaran yang baru sebagai upaya memberi respon terhadap
persoalan pluralisme tersebut. Theologia religionum tak lain adalah upaya
refleksi Theologis untuk menempatkan pluralism sebagai pusat perhatian dan
pusat persoalan. (Menanggapi, mengkritisi atau asimilasi ? Teks ke konteks atau
konteks ke teks?
- Intern dan Ekstern. Guna menyusun sebuah Theologia religionum yang mempunyai pijakan pada realitas, maka kita perlu menunjuk pada dua factor yang akan menentukan corak pemikiran Theologis yang hendak kita bangun. Yang pertama adalah factor intern (gerejawi) yang kedua factor ektern (kehidupan agama-agama secara umum). Pada tataran intern gerejawi, Theologia Religionum merupakan upaya untuk mencari makna Theologis dari pluralism agama-agam tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial dari upaya setiap kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan keadaaan, dengan kata lain ia merupakan wujud daria apa yang selama ini disebut sebagai Theologi kontekstual. Yang menyangkut kehadiran agama tertentu di masyarakat. Sedang pada tataran eksternal bisa dikatakan, bahwa Theologia religionum merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan dari masyarakat maupun masa depan agama-agama. Hubungan-huibunagan agama masa lalu terlalu terbatas dalam hubungan yang bercorak hubungan pasif. Kita menyongsong suatu hubungan yang lebih aktif dan yang bisa membuahkan kerja sema yang lebih erat demi masyarakat yang kita kehendaki bersama. Di sini kita dituntut untuk berpikir lebih positif tentang agama-agama. Bahwa masa depan menjadi masa depan bersama (dan masa depan yang sama) dari semua permasalahannya itulah yang akan mempengaruhi dan membentuk sebuah Theologia religioum.
- Persoalan Kebenaran. Menyusun sebuah Theologi religioum tidak bisa dipisahkan dari upaya yang berhubungan dengan perhatian kita tentang kebenaran. Itu berarti, bahwa kita semua harus berakar kepada rumusan tentang kebenaran yang sudah dihasilkan dalam sejarah oleh tokoh-tokoh pemikir Theologi dalam seluruh sejarah di masa lalu. Juga seluruh pengalaman dan persoalan yang belum selesai dirumuskan di masa lampau. Kebenaran itu menjadi benang merah dari kehadiran agama-agama tersebut, ia tidak bisa terputuskan dan harus tetap terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang baru yang akan dirumuskan tetapi, merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam konteks yang baru.
Dengan
aspek kritis dari kebenaran tersebut, maka ia akan selalu terus mencari dan
melakukan eksplorasi yang tak ada habis-habisnya. Dengan demikian, aspek utama
Theologia religionum sebenarnya adalah karakteristik yang kritis tersebut.
Sudah barang tentu, semuanya itu harus diterjemahkan dan, diperkembangkan dari
inti iman yang diakui bersama dalam setiap komunitas keagamaa tersubut.
Perumusan
Theologia Religionum
Sebelum
kita melakuka eksplorasi lebih lanjut, kita kembali kepada pertanyaan utama,
“kenapa kita justru membutuhkan sebuah Theologia religionum dan bukan Theologi
yang lain? Bukan Theologi digmatik yang lebih umum dan menyeluruh, atau
Theologi yang bergerak pada sector-sektor yang lain. Kenapa tantangan pluralism
kita anggap sebagai tantangan utama bagi zaman ini?” untuk menjawab pertanyaan
tersebut ada beberapa pertanyaan yang dapat kita kemukakan:
- Apresiasi aktif. Barangkali akan lebih mudah untuk membahas pluralism secara menyeluruh apabila agama-agama bisa menentukan suatu “indenpenden cerita” yang bisa diterima bersama. Namun, agaknya hal itu tidak mungkin. Kita tidak mungkin menemukan “independen cerita” tersebut, karena tidak ada criteria objektif yang berlaku universal untuk semua agama, yang bisa diterima oleh semua dari semua agama (Ada kebenaran Universal yang obyektif). Oleh sebab itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah memulai tugas ini dari setiap individu agama sebagai sebuah refleksi kritis yang sifatnya sbjektif. Suatu pemahaman yang sungguh-sungguh tentang makna pluralism yang hanya bisa diselenggarakan dari dalam. Oleh sebab itu, tak bisa tidak, ia menuntut sebuah pendekatan Theologis. Kita perlu memulainya dengan kesadaran kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri dalam seluruh tradisi yang kita kenal selama ini guna merumuskan makna Theologis dari agama-agama dan agama-agama kita sendiri. Kita terpanggil untuk mengambil inisiatif untuk melakukan suatu “apresiasi aktif” terhadap agama-agama lain. Upaya ini tidak menunggu, akan tetapi suatu refleksi dari urgensi dari kebutuhan kita untuk membuka sekat-sekat yang ada pada diri kita sendiri, serta untuk meruntuhkan prsangka-prasangka lama yang ada dalam diri kita sendiri (timbulnya sebuah keragu-raguan), baik di masa lampau maupun sekarang ini. Tidak mempersoalkan kesiapan dari pihak lain. Melainkan untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Ini merupakan cara membongkar bangunan lama yang tidak cocok lagi, karena ia mengisolasi diri kita selama ini. Theology semacam ini akan menjadi upaya untuk membangun jembatan yang baru yang di dasarkan pada criteria dan idion kita sendiri, untuk membuat evaluasi dalam menghadapi dan menilai, mengkoreksi cara kita memandang agama-agama lain. Dengan itu kita lebih respek kepada tradisi keimanan yang lain.
- Titik Tolak Trinitas. Theologia religionum berdasarkepada totalitas ajaran keimanan Kristen. Kontras antara tekanan partikularitas dan universalitas selalu merupakan ketegangan abadi dari agama-agama. Dan kedua kutub tersebut selalu mengjadi cirri ketegangan yang kreatif dalam agama. Keduanya tidak bisa dipungkiri dan disisihkan, karena keduanya merupakan bagian yang intern pada setiap agama. Dan Theologia religionum juga harus memainkan perannya dan perumusannya dalam rangka ketegangan kreatif antara kedua kutub tersebut.
Memang,
hanya bisa kita katakana Theologia religionum akan merupakan ketegangan yang
besar kepada aspek universalnya, tanpa melakukan segi-segi keunikannnya. Atau
dengan kata lain keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi dia dilihat dalam
prespektif universalnya. Inilah yang kiranya merupakan “yard stick” (tiang
penopang, ukuran) dalam menguji Theologia religionum itu. Yaitu ajaran tentang
universalitas agama itu.
Dalam
rangka ajaran Kristen tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran trinitaris,
yaitu bagaimana kita mengungkap relevansi dan ajaran tentang Tuhan Bapa, Tuhan
Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama non-kristen.
Baiklah untuk, sementara kita sisihkan dulu Roh Kudus karena soal itu barang
kali jauh lebih “mudah” kita lakukan.
Pertanyaan
yang utama dalam ajaran agama Kristen adalah bagaimana kita menempatkan dan
memikirkan hubungan antara Kristologi dan Theologi. Kristologi kita anggap
sebagai bagian dari keunikan partikularit sedang Theologi bagian dari
universalitas . soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara
baru sehingga mampu memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum, kita bisa
katakan, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan kepada konteks pluralisme
agama-agama seperti yang sekarng ini. Mungkin, disinilah tepatnya kita
mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah Theologi agama-agama dan bukan
kristologi agama-agama. Sebab tekanan yang hendak kita berikan adalah
universalitas itu.
Maksudnya
disini bukan berarti bahwa kristologi itu harus kita gantikan dengan Theologi
atau sebaliknya, karena keduanya bukan alternaatif satu dengan yang lainnya.
Keduanya justru bagian yang saking melengkapi. Pilihan kita bukan salah satu
apakah kristologi harus digantikan dengan Theologi. Karena kristologi mempunyai
corak yang ekslusif. Theology memang bisa menembus kelemahan atau keterbatasan
tertentu. Lalu, keduanya diterobos dengan pneumatologi.
Semua
itu bukan menggantikan, mengabaikan, atau menampk satu terhadap yang lain,
seperti yang banyak diusulkan para Theologi pluralis. Yang kta butuhkan adalah,
bagaimana kita mengerjakan Theologi kristologi, atau pneumatoligi, sehingga
menjadi “Christology of religions” atau “Theology of religions” atau
“pneumatologi of religions”. (Perlu hati-hati terhadap statement tersebut,
sebab bisa berimplikasi bahwa persamaan kristologi atau penumatologi ada di
dalam agama-agama lain). Apapun namanya, semuanya itu harus merupakan langkah
apresiasi terhadap plralisme agama-agama. Menciptakan ruang untuk menghargai
agama lain, untuk menghormati agama lain. Semuanya harus dilakukan untuk tidak
mengulangi kesalahan dan indeferendsi yang lama. Mungkin bagi pemikir Theologi
Kristen, cukup untuk mengatakan bahwa Theologi religionum yang baik dan memadai
adalah yang bercorak trinitaris.
Soteriologi
Kecuali
soal kebenaran yang unuk dan uiversal tersebut, soal lain yang sangat penting
addalah soal soteriologi. Di sini bisa dipertanyakan kembali: sampai seberapa
jauh sebenarnya pemahaman mengenai keselamatan itu memberikan corak tertentu
kepada Theologi kita, dan bagaimana hubunganya soal kebenaran itu? Bagaimana
kristologi Theologi yang mengklaim kebenaran itu menempatkan agama-agama dalam kerangka
besar umat manusia?
Di
sini kita bergumul kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk theology dan
kristologi yang kaku dan meberikan ruang yang bebas dan positif untuk mengakui
kehadiran dan nilai agama itu dalam pemahaman soteriologi kita, dan pemikiran
kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan soteriologi, maka
kristologi dan Theologi bisa diatasi dengan baik. Sehingga, kita tidak
berbicara tentang Theologi atau kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi
agama-agama di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima
agama-agama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan. (dalam agama lain ada
keselamatan yang dikerjakan oleh Roh/Allah. Benarkah?
Selama
ini, mungkin karena tekanan kita terlalu berat kepada Theologi agama-agama
maka, ada banyak kritik yang megatakan bahwa ini hanya menyangkut agama-agama
“wahyu” saja yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedang agama-agam Timur lainnya
seperti Hindu, Budha dan Konfusianisme tidak mendapat tempat sewajarnya,
kecuali ada pemaksaan tertentu. Mungkin di masa depan pneumatologi ini akan
merupakan terobosan baru bagi upaya untuk merangkum agama-agama. (hati-hati ada
usaha memformulasikan supaya sama dan setara).
Soteriologi
memberi horizon yang lebih konkret. Ia merupakan sambungan antara doktin dan
praksis. Setidak-tidaknya, ia merupakan gabungan antara kerangka teoritis yang
bisa mempertemukan doktrin dan etika, serta bisa memberi titik pijak yang
memberi tekanan kepada soal etika menjadi penting. Tidak perhatian yang khusu
dan terfocus di sana.
Theology
agama-agama harus diabdikan kepada upaya untuk meengkonkretkan iman
kepercayaan, untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Kebenaran
menjadi konkret dalam kenyataan kehidupan. Soal dogmatis dan kebenaran bukan
tidak penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju ialah ungkapan
praksis dari hubungan antar agama itu . Paul Kinetter telah berusaha dalam
bukunya “NO OTHER NAME?” untuk mengeksplistkan suatu konsern tentang kebenaran
digabung dengan komitmen etika. Ini merupakan suatu langkah yang harus dijajaki.
Kebenaran
telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging . antara creed
dan deed antara doktrin dan tingkah laku, antara Theologi dan praksis, antara
iman dan buah-buahnya antara ortodoksi dan otopraktis, telah dipersatukan.
Demikian perlu dipikirkan untuk menciptakan pemikiran suatu yang lebih utuh
tentang hubungan antar wahyu (revelation) di satu pihak dan soteriologi di
pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan Tuhan (revelation) akan
memberikan inplikasi yang positif pula kepada gagasan tentang keselamatan yang
ada dalam agama-agama.
“Self Anderstanding”
Agaknya
tidak usah disangsikan, bahwa semua agama perlu membuat versi Theologia
religionum sendiri yang terbuka dan positif. Hal itu tak bisa dihindari, karena
dunia majemuk dan agama yang majemuk yang meliputi seluruh dunia. Kenyataan
global ini menantang semua agama serta menuntut mereka untuk mengklarifikasikan
dan menjelaskan sikap mereka satu terhadap yang lain. Agama secara individual
dituntut untuk menjelaskan secara baru, sikap yang baru untuk menciptakan
attitudes yang baru terhadap yang lain.
Jadi,
ia merupakan suatu yang baru re-interpretasi terhadap agama-agama, dan dipihak
lain merupakan suatu “self understanding” yang baru bagi gerja-gerja dan umat
Kristen. Ia berfungsi ke dalam umatnya sendiri, dan berfungsi sebagai jembatan
untuk melangkah keluar yang menghubungkan umat sesuatu agama dengan umat
beragama lain yang punya tradisi pemikiran keagamaan yang berbeda. Ia melakukan
penyempurnaan dan dan koreksi terhadap seterotip yang lama yang cendrung
menciptakan konflik yang sia-sia.
Tantangan Peradaban,
Respons Gerejawi
Pertanyaan yang bisa kita kemukakan
ialah: apakah yang khas yang akan terjadi dalam milineum yang ketiga ini?
Tantangan apa yang bakal muncul yang berbeda dengan dua ribu tahun yang sudah
berlalu? Konsentrasi kita memang pada pluralism. Kita diperhadapkan pada soal
keperbedaan, kemungkinan lain serta alternative yang lain yang ditawarkan
begitu banyak. Dan kita harus memberi respons yang memadai. Kita bukan hanya
mengubah, tetapi juga diubah oleh perubahan yang sedang terjadi. Dan, ini
merupakan tantangan kita untuk mempersiapkan diri dalam mendatangi kedatangan
milineum yang ketiga itu.
Tantangan Milineum
Ketiga
Pada
milineum ketiga, kita ditantang untuk memberi makna kepada apa yang disebut
“religious otherness” itu. Dalam ribuan tahun yang pertama, kita melihat dalam
sejarah bahwa keperbedaan agama telah melahirkan suatu masa panjang yang amat
pahit. Yaitu masa intoleransi (persecution) yang amat panjang dan amat “sadis”
dalam sejarah kemanusiaan.
Dalam
ribuan tahun yang kedua kita melihat masalahnya sebagai sedikt lebih beradab,
sekalipun semuanya masih berakar kepada adu kekuatan baik fisik maupun mental.
Semuanya masih diukur denagan menang atau kalah. Ada banyak kematian yang
terjadi, akan tetapi terutama “theological killing” menjadi corak utama dari
ribuan tahun yang kedua dari sejarah manusia beragama.
Sedang
dalam melinium ketiga kita menghadaopi sesuatu yang lain, tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana kita tetap menjaga identitas kita tanpa meremehkan,
dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Ini cara yang
sedikit banyaknya secara ideal lebih beradab sesuai dengan kemajuan peradaban
manusia. Tanpa menekan dan mengeliminasi orang lain, akan tetapi bagaimana
tetap bertahan dan melakukan perubahan dari dalam, dan hidup sebagaimana
manusia yang beradab. Dalam masyarakat majemuk kontemporer sekarang ini, ada
banyak produk hukum yang melindungi hak-hak asasi serta melindungi integritas
dari keyakinan yang tak bisa dilecehkan dengan bebas begitu saja. Sikap
pelecehan agama perlu diatur dalam hukum.
Peradaban
kita yang sekarang memang telah sampai kepada upaya bersama untuk saling
menghormati satu sama lain. Semua itu berlawan dengan konteks hidup modern.
Kita melihat ada banyak beban sejarah yang melekat pada kehidupan keagamaan
kita sekarng ini. Sebagai contoh, sinode Dutch Reformed Churc di Belanda masih
memuat dalam keputusan sinodenya tahun 1986 yang mengatakan “agama Islam adalah
agama sesat (palsu) dan berbahaya mengancam secara serius terhadap kekristenan
dan kemanusiaan”. (bagaimana menurut anda?)
Oleh
sebab itu, agama Islam harus diwaspadai. Di sini kita melihat bahwa beban yang
diwariskan oleh cara pandang colonial masih melekat pada sebagian dari
gerja-gereja di Barat. Dan contoh lain adalah pengakuan (semacam anggaran
dasar) gereja HKBP yang sampai sekarang masih menyelipkan kepedihan dari
sentiment keagamaan dari abad ke-16, semasa Marthin Luther dengan tetap
mempertahankan kecurigaan negative terhadap gereja Katolik. Di sini kita
melihat bahwa hubungan negatif
Islam-Kristen belum juga selesai selam 14 abad. Dan ini kalangan Kristen
sendiri membutuhkan waktu 5 sampai 6 abad untuk memikirkan corak hubungan yang
lebih baik dari abad ke-17. Hal-hal seperti itu harus dipikirkan ulang dan
diganti dengan sikap atau rumusan yang lebih baik cerdas dan beradab.
Dengan
kenyataan seperti itu, maka bisa kita katakan bahwa ada begitu banyak
pernyataan mengenai agama lain diterbitkan, seolah-olah penganut agama lain itu
tidak ada, atau tidak mendengar apa yang ditulis dalam pernyataan tersebut.
Seolah-olah seperti pengadilan “in absenstia”. Seolah-olah dalam gama lain
tidak ada ahli dalam agama itu, sehingga dipandang dengan mata memicing
sebelah. Bahkan tidak dibayangkan bahwa akan ada orang lain yang akan membaca
dan memberi tanggapan, mereka dianggap tidak ada, sehingga tulisan mengenai
agama lain itu sama sekali bersifat tidak dialogis.
Dirumuskan
dengan mengandaikan ketidak hadiran penganut agama lain. Mereka dianggap
“absent” bahkan “non-exist”. Dan cendrung memaksakan presepsi dari penulis
dengan agama lain tersebut. Dengan itu memang sulit dicapai apresiasi positif
dan aktif terhadap agama lain. Dan tidak diberi kesempatan internal dari
refleksi dari agama lain untuk memikrkan reaksi yang mungkin timbul, bahwa apa
yang dinyatakan tersebut mempunyai dampak, baik terhadap dirinya sendiri maupun
orang lain. (sikap dan cara perlu dokoreksi, keyakinan tetap dibangun di atas
dasar yang tetap).
Dalam
menyusun pertanyaan mengenai agama lain maka kehadiran umat beragama lain
sungguh tidak dipikirkan secara serius. Tidak diandaikan, bahwa mereka juga
kritis terhadap pertanyaan itu. Sehingga tak ada proses untuk ruang berpikir
yang baru, yang bisa keluar dari presepsi yang berdasarkan pengalaman yang baru
mengenai pluralisme. Karena itu sampai sekarang kita belum bisa keluar dari
jenis literature Theologi yang pada dasarnya bersifat antitesis, polemis, dan
apologetic.
Jadi,
dengan demikian dampat kita simpulkan bahwa metode dari perumusan Theologia
religinum dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam
proses. Dengan demikian ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal. Hanya
dengan cara itu, maka akan dilahirkan Theologia religionum yang berbobot dan
yang benar-benar berpijak kepada kenyataan, dikontrol dan diawasi. Sehingga
bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil positif. (toleransi
antar umat beragama ya, dan perlu didiskusikan dan dicari titik temu, namun
toleransi antar agama adalah berbahaya yang akan melahirkan sinkritisme).
Tantangan Eksklusifisme
(Barth, Kraemer)
Kita
menghadapi kristologi yang kolonialistis dan imperialistis, tetapi kita juga
menghadapi godaan yang sama dari jenis Theologi universal yang pada dasarnya
sangat paternalistis dan eurosentis. Seolah-olah seluruh pengalaman rohani dan
intelektual keagamaan harus dijabarkan dalam paradigma yang bercorak Barat dan
universal. Sebab jelas, bahwa kritik India dari Smith untuk memindahkan aksen
dari kristologi ke Theologi. Namun, Theologi smith sendiri mengandung
kelemahan-kelemahan yang sulit diatasi khusunya agama-agama Timur seperti Hindu
yang poliheistis, Budha yang non-theistis (tidak mengandalkan diri pada
paradigm mengenai Tuhan), dan Konfusianisme, dan khususnya ideology yang
sekularistis yang tidak membicarakan Tuhan dalam tata pikirannya.
Bagaimana
juga bisa diakui bahwa Theologi universalnya W. Cantwell Smith bisa mengatasi
ekslusifisme tokoh-tokoh lama seperti Barth dan Kreaemer, dan memberikan suatu
pijakan pemikiran yang baru? Jelas-jelas dalam pemikiran Theologi Kraemer,
kristologinya merupakan suatu “bentuk imperialism keagamaan” (fasilitas agama).
Yang menunjukkan aroganis dan sikap yang sangat partikularistis, dan hal itu
dengan efektif dihembus oleh orang seperti Smith dan John Hick yang menyatakan
bahwa ada suatu “revolusi berpikir” dalam masyarakat pluralistis ini, yaitu
dari “geosentrisme” (baca: kristosentrisme) kepada “heliosentrisme”(baca:
theosentrisme). Paradigmanya berubah dari eksklusifisme ke arah pluralism. (apa
dasar pijakan, bukankah Alkitab dan bagaimana kata Alkitab?)
Kristologi
semacam itu tidak bisa lagi dipakai untuk menilai secara positif agama-agama
lain. Upaya mencari kebenaran menjadi upaya penghakiman agama yang memutuskan
hubungan. Smith menunjukkan, bahwa yang penting adalah keimanan kepada Tuhan,
dan bukan kepada Kristus yang juga beriman kepada Tuhan. (silogisme : Kristus
adalah penyelamat, Kristus adalah Tuhan dengan demikian Tuhan adalah penyelamat
?). Jadi sumbangan pemikiran Theologi
Smith saya kira secara efektif telah mampu mengkoreksi kelemahan dan keterbatasan
dari Theologi krisis atau neo-orthodoksi, atau Theologi dialektiknya Bert dan
Kraemer.
Kita
tidak memakai argument bahwa Theologi kritis tersebut dibentuk dan dibuat pada
zaman sebelum perang Dunia ke-II, yang untuk masa pluralism sekarang sudah
tidak relevan. Kelemahan Smith adalah kelemahan yang inheren pada setiap bentuk
Theologi yang dibuat untuk menjawab pertanyaan dan problem yang khusus, di sana
kekuatannya dan sekaligus kelemahannya.
Semua
itu dikemukakan oleh antara lain Georgre Chemparaty dalam artikelnya
“Dialaectical Theology and Non-Christian religions”, kritik yang tajam kepada
Theologi dialektikyang bercorak negative kepada agama lain berdasarkan
kristosentrisme yang berlebihan. Kita harus mencari kemungkinan lain, kemungkinan
yang berbeda dari posisi seperti itu. Pandangan tersebut, sekarang ini
berinkarnasi pada fundamentalisme Kristen yang muncul dalam bentuknya yang
lebih buruk dan lebih dangkal, yang menilai agama-agama hanya sebagai
“anak-anak setan” yang menuju neraka. Karena itu, tak ada pengertian
kontinuitas dan tak ada “poin of contact” antara agama Kristen dan agama-agama
non Kristen. (ada point of contak, tapi stigma negatif perlu direvisi dengan
bahasa mengasihi bukan bahasa menghuzat, namun perlu ada ketegasan dialektikal).
Pandangan
tentang wahyu juga diberikan pemahaman yang amat sempit mengenai soteriologi,
dan cenderung terperangkap dalam mentalistas ghettol dalam kehidupan beragama.
Oleh sebab itu, pada hemat saya Theologi dialektik harus ditolak sebagai pilihan
yang tidak relevan dengan tatanan dunia plural sekarang, dan harus diganti
dengan sesuatu yang baru, yang lebih berakar kepada pergumulan mengenai
pluralism agama.
Theology
krisis berhadapan dengan masalah totalitarianisme ideology naziisme. Dan mengaplikasikannya
ke pada dunia agama-agama, dan semboyan: “sola fide et solo christo”. Dan
anehnya, semua itu dilakukan tanpa pengetahuan secukupnya tentang agama-agama
non Kristen. Sehingga, terjadi ketimpangan yang mencolok dalam memahami
agama-agama tersebut. Konteks dari Theologi krisis tidak relevan lagi untuk
diterapkan pada situasi yang sekarang, di mana prinsip emansipasi justru
menempatkan semua kelompok masyarakat untuk mengambil bagian dalam pergaulan
yang beradab dari umat manusia.
Sikap
negative (ekslusif) pada zaman sebelum perang Dunia II dianggap sebagai nilai
(value), sedang pluralisme dianggap sebagai problem; sedang di masa sekarang
justru sebaliknya yang terjadi plurlisme dianggap sebagai nilai dan sikap
eksklusif dianggap sebagai problem. Dengan perubahan paradigma dan pemahaman
ini maka kita mencoba mencari trace (jejak) baru dan kemungkinan baru bagi
perumusan Theologia religionum yang baru.
Tantangan Pluralism
Ekumenis
Dalam
tulisannya dalam buku “Christt Lordship and Religious Pluralism” W. Cantwell
Smith mengemukakan salah satu aspek yang perlu kita simak tentang pluralisme di
kalangan Kristen. Dan ini merupakan
kenyataan yang secara sungguh harus diperhitungkan. Kita melihat apa yang disebut
kesadaran tentang “multiplicity of alternatives”, yang dihadapi dalam konteks
pluralisme yang sangat derastis di hadapi oleh semua warga masyarakat.
Situasi
dunia, masyarakat agama dan denominasi Kristen, Pluralisme dari eksegesis, dari
model bergereja (organisasi) dari bentuk kepimpinan, dari kegiatan serta misi
gereja, serta pemahaman tentang ajaran-ajaran yang dianggap ortodoks. “…that
Christian tradition is a religiously plural one…”, bahwa tradisi Kristen
merupakan tradisi yang sangat majemuk, bukan sesuatu yang monolitik dan
uniform.
Sehingga,
yang kita hadapi adalah suatu pluralism yang coraknya khusus. Dan eksklusifisme
dalam kekristenan ini hendak dipecahkan dengan metode yang sama dengan cara
menghadapi pluralism yang ekstern, yaitu dengan mengembangkan dialog dalam
kerjasama antar denominasi. Dan eksklusifisme dianggap sebagai sesuatu yang
immoral, dan merupakan ilusi dan heritik dalam arti yang sesungguhnya. Yang
muncul dalam banyak sekte yang totalitarian dan sectarian. Theologia Religionum
juga bisa berperan dalam hubungan semacam ini, sehingga sebuah Theologia
relogionum sesungguhnya juga bisa memiliki peran yang bisa mengatasi soal
hubungan antar denominasi dengan semangat yang lebih apresiatif. Ada banyak
kesejajaran yang kita temui saat kita memikirkan persoalan hubungan antar agama
dengan hubungan antar gereja.
Dialog dan
Kolaborasi Antar Agama
Dengan
Theologia religionum dan dengan dialog akan dapat diciptakan jembetan untuk
menciptakan dasar bagi kolaborasi antar agama. Theologia religionum bukan upaya
untuk mengeluarkan (mengeksklusifkan) agama-agama lain, akan tetapi sebaliknya
untuk membangun suatu jembatan kerjasama. Bukan untuk memilih mana yang benar
dan mana yang salah, akan tetapi membangun sebuah diskursus untuk membangun
kerjasama etika antar agama. Thgeologia religionum pada dasearnya adalah sebuah
Theologia untuk membangun dialog dan kerjasama antar agama. Perspektifnya
adalah mengarah kepada kesimpulan yang bukan hanya principal, akan tetapi
menyangkut langkah nyata. Jadi, Theologia religionum bermuara pada dua cabang
yaitu dialog dan kolaborasi antar agama. (jika hanya untuk membangun kerjasam
etika antar agama supaya semakin beradab, mengapa harus mengorbankan kebenaran
fundamental ?)
Dialog Antar
Agama
Dialog
antar agama adalah sebuah wacana yang tak bersifat teoretis belaka, akan tetapi
menyangkut diskursus dari semua pemikiran yang mempengaruhi perkembangan dan
mempengaruhi kehadiran dari agama-agama tersebut di masyarakat. Dialog itu
terbentang sedemikian luas sejauh jangkauan cakrawala berpikir, sejauh
jangkauan dari eksplorasi yang bisa terjadi dan juga menyangkut semua aspek
kehidupan manusia yang bisa menjadi agenda yang bisa didialogkan bersama.
Tetapi,
tentu yang menjadi focus utama adalah menyangkut aktivitas dimana distorsi dari
persepsi keagamaan yang ada di masing masing pihak pada instansi pertama harus
diluruskan dan dijernihkan. Sehingga, tidak bisa lagi dengan sengaja dilukiskan
secar karikatural mengenai agama lain yang menyalahi, kesalahpahaman yang
sengaja yang tak bersetuju dengan pandangan yang dimengerti dan diakui umat
agama lain. (ini soal etika ?)
Dengan
begitu, sebenarnya sebuah langkah dialog pada instansi pertama adalah sebuah langkah
korektif terhadap distorsi tersebut. Hal yang penting untuk diperhatikan
adalah, bahwa tidak semua agama menghadapi persoalan yang sama, oleh sebab itu
dalam mengemukakan jawaban juga tidak perlu sama. Dengan demikian, kenyataan
tersebut justru akan memperkaya setiap agama yang melakukan dialog. Berdasarkan
kelebihan dan kedalaman yang ada pada agama-agama yang berbeda tersebut.
Sudah
barang tentu harus diingat pula kandungan misioner dari setiap agama, yaitu
untuk memberlakukan klaim universal dari kebenaran yang diakuinya. Panggilan
missioner semacam itu juga menjadi ajang komunikasi yang positif yang justru
bisa memberikan kemungkinan bagi adanya dialog yang produktif. Jadi aspek
apostolic dan aspek missioner dan profetik dari dialog itu pada dasarnya bukan
untuk membela kebenaran sendiri, akan tetapi juga memberi dan menerima
kesaksian kepada orang lain.
Gavin
D’Costa dalam bukunya “Theology and Religious Pluralism” mengemukakan perluinya
dikembangkan dua arah dari dialog, yaitu yang pertama: personal dialogue,
anggota komunitas keagamaan secara pribadi dan informal, dialog antar penmeluk
agama. Yang bisa membahas apa saja yang mereka agendakan. Dialog ini bersifat
personal. Tidak atas nama komunitas resmi dan tidak mewakili mereka. I-Thou
Relationship seperti model Martin Buber. Di pihak lain ada juga model lain
dialog yang kedua yang lebih resmi yang merupakan dialog institusional. Yang
merupakan wakil resmi dari agama tersebut. Dialog model kedua ini lebih resmi.
Dua hal ini perlu dilakukan secara bersama.
Kolaborasi
Antar Agama
Soalnya
adalah, bagaimana menghasilkan buah-buah iman yang berguna bagi orang lain?
Bukan sendiri-sendiri, akan tetapi bersama-sama. Aspek praksis dari kerjasama
antar agama ini merupakan “jalur keluar” dari kebutuhan yang bisa terjadi dalam
dialog teoretis antar agama. Karena kita selalu terganggu dengan kenyataan yang
mungkin terjadi, bahwa memang mustahil untuk menjadikan salah satu agama
menjadi pengganti dari agama-agama yang benyak itu, dan juga ketika gagal membuat
suatu agama kita menjadi benar-benar universal, maka sendi-sendi etika bisa
ditawarkan sebagai kemungkinan lain. Bukan doktrin yang mencakup semua agama
akan tetapi pada tingkat etika kita bisa mengajukan proposal bersama dari kerja
sama antar agama.
Jadi,
ada kemungkinan bahwa konsern etika dan yang lebih praktis ini justru mampu
melahirkan suatu platform konsern yang lebih luas dari pada basis yang bercorak
teoretis apabila Theologi universal telah mencapai perkembangannya yang
terakhir dan tidak bisa dikembangkan lagi, mentok, maka dimensi etika ini
justru masih bisa melakukan eksplorasinya sendiri. Praksis justru terbentang
luas tanpa batas. Jadi dengan kata lain kita tidak lagi memimpikan adnya suatu
“common religion for common humanity”, akan tetapi masih bisa melakukan
kemungkinan kolaborasi antar agama dalam bidang etika. Kita bisa berbicara
tentang “common problem and common mission”. (Peroalan bersama dan misi
bersama).
Kita
menyadari bahwa mungkin sulit untuk menciptakan suatu “universal Theology of
Religion” yang bisa mencakup dan diterima oleh semua agama. Sudah banyak kritik
terhadap pretense semacam itu. Karena, dengan itu keunikan dari agama-agama
kemungkinan akan digilas dan dibypass, dan cenderung mengkecilkan makna dari
pluralism itu sendiri. Sebab, theologia religionum bukan dimaksudkan untuk
mengatasi perbedaan antar agama, akan tetapi hanya memberi makna positif
terhadap agama-agama tersebut.
Sehingga,
keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan
anugrah tuhan. Partikularitas agama-agam tersebut tidak dihilangkan. Theologi
universal tersebut memang harus diakui keterbatasnnya, yaitu sejauh ia diterima
secara sah sebagai ungkapan dari kelompuk suatu agama untuk menghargai agama
lain degan caranya sendiri dan terbatas pada konteksnya sendiri. Tetapi tidak
bisa di klaim sebagai (…?) dengan sendirinya relevan untuk konteks yang lain.
Untuk itulah, maka dimensi etika lebih muncul sebagai option atau pilihan yang
lebih bersifat “universal”. Aksen pada etika akan jauh lebih memiliki potensi
perubahan dibanding dengan aksen yang bersifat teoretis. Khususnya untuk
kuonteks di Indonesia. Tetapi, hal itu hanya bisa terjadi apabila didukung oleh
sebuah Theologi yang bersifat terbuka dan apresiatif terhadap iman kepercayaan
lain. Bahkan, bisa dikatakan bahwa kerjasama yang sungguh-sungguh tak mungkin
dilakukan tanpa suatu sikap fundamental yang positif terhadap agama lain.
Tujuan
khusus yang hendak dicapai dalam merumuskan Theologia religionum di Indonesia
adalah agar gereja-gereja secara Theologis bisa merumuskan solidaritasnya, rasa
hormatnya, serta rasa senasib sepenanggungan untuk menghadapi persoalan bersama
di masa depan, serta bisa menjalin kerjasama yang erat antaran semua orang yang
beriman.
Di
sinilah kegunaan dari Theologia religionum dalam melengkapi umat untuk mampu
masuk dalam kerjasama antar agama secara produktif. Malahan ia merupakan fungsi
untuk mendukung kerjasama tersebut. Hal itu merupakan proses internalisasi dari
umat beragama untuk mampu berhadapan secara terlengkapi dengan bekal suatu
dasar Theologis menerima orang lain sebagai mitra kerja.
Theologia
Religionum dan Agama Transformatif
Dalam
bentuk semacam itu maka agama akan menjadi agama transformatif yang bisa
memberikan ilham bagi semua orang. Memberikan harapan, moral yang tinggi dan
kesadaran yang mendalam kepada warga masyarakat. Di situ, agama menjadi agama
yang mempunyai kekuatn transformative dan kreatif bagi masyarakat. Ini
merupakan bagian inti profetik agama-agama menjadi potensi agama-agama mampu
tampil bersama-sama selaku pemberi alternative dan selaku penerang bagi masalah
kemanusiaan sekarang ini.
Yang
dibutuhkan bukan pandangan ekspilisit saja, akan tetapi juga aplikasi dari
doktrin keagamaan dalam kenyataan kontemporer sekarang ini. Penjabaran dari
doktrin keagamaan dalam praksis politik, ekonomi dan kebudayaan dan segenap
bidang hidup itulah yang akan memberikan corak transformative dari kehadiran
agama.
Jadi
Theologia religionum sedemikian rupa,
sehingga memiliki posisi yang benar-benar komited kepada perubahan masyarakat.
Dan juga memberikan solidaritas kepada mereka yang menjadi korban dari tingkah
laku msyarakat sekarang ini. Sebuah Theologia religionum tak akan banyak
gunanya apabila itu terisolasi dari komitmen untuk menegakkan keadilan, dan
lain-lain masalah yang mencuat sekarang ini.
Theologi
tidak bisa dirumuskan sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi penghalang untuk
menghargai iman orang lain. Pernyataan negative dan yang sudah menyatu dengan
seluruh system dogmatik kita yang bercorak polimis-apologetis. Baik yang
termuat dalam kitab-kitab pelajaran agama, dan dalam kidung-kidung pujian,
dalam liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan
negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang
merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama lain, atau yang dianggap suci
oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang, hal tersebut
telah menyerang kehormatan dan integritas orang lain.
Akhirulkalam
(kesimpulan)
Dalam upaya memaparkarkan persoalan serta
alasan untuk merumuskan Theologia religionum tersebut diatas, bisa kita
simpulkan bahwa dengan memikirkan pluralisme, dialog serta kerja sama antar agama,
kita memperoleh horizon serta lagit yang baru untuk memikirkan kembali secara
menyeluruh pemikiran Theologia kita. Dengan demikian, kita memperoleh pijakan
untuk membangun sebuah kemungkinan lain dari cara kita berTheologi, bergereja
dan mengembangkan cara kita beragama secara menyeluruh.
Theologia
religionum adalah cara untuk memperluas cakrawala dan langit-langit berpikir
kita lebih luas dan lebih tinggi. Dengan kata lain, upaya untuk merumuskan Theologia
religionum menjadi identik dengan upaya pembaruan Theologi itu sendiri, yang
tentu nanti ada implikasinya dalam seluruh kehidupan gereja. Pembaruan Theologi
adalah identik dengan upaya Theologia religionum karena konteks yang paling
menantang dari kehadiraan Kristen adalah konteks dari pluralism dan pertemuan
antar agama. Theologia religionum marupakan “ujung tombak” dari pembaruan
gereja dan agama di masa sekarang ini.
Saya
berharap, pembahasan Theologia religionum ini bisa menjadi titik tolak bagi
langkah terobosan kita, untuk membongkar kemacetan kehidupan Theologia kita,
dan dipihak lain bisa memberikan langkah baru untuk menciptakan kehidupan
beragama lebih produktif dan manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar