Selasa, 29 April 2014

Theologia Religionum: Sebuah Pengantar Kepekaan Theologi pada Tanda Zaman

Oleh:
TH. Sumartana


Kesibukan ber-Theologi kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kurang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, Theologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan.


Kecuali itu, dalam lingkungan akademis Theologi kita juga tidak punya referensi pada perkembangan ilmu social pada umumnya, sehingga prespektif berpikirnya cenderung berpusing-pusing mengitari diri sendiri. Di sana-sini sekedar sebagai ungkapan yang merupakan pergumulan sepenggal, tidak utuh dan tidak mempunyai gaung yang mampu merangsang orang untuk memberikan tanggapan. Sebenarnya perlu kita akui, bahwa ada cukup banyak fragmen yang terserak-serak yang merupakan buah pikiran reflektif sesaat, namun belum dipadukan dalam sebuah susunan yang menyatu. Dalam keadaan “impase” semacam itu diperlukan pemikiran terobosan yang bisa ditawarkan sebagai sebuah kemungkinan pengganti. Sebuah alternative guna mengawali komitmen ber-Theologi yang berangkat dari pengalaman nyata. Dan dengan demikian lebih punya kemungkinan untuk ditumbuhkan menjadi sebuah diskursus, untuk merangkai usaha berTheologi lebih utuh dan berkesinambungan.

Untuk itu, melalui tulisan ini saya ingin mengemukakan beberapa askpek pemikiran tentag Theologia religionun (Theologi agama-agama) dan berusaha mengaitkannya dengan persoalan pluralism agama. Pengantar umum ini tidak akan dimulai dengan definisi ketat, namun lebih akan memberikan ilustrasi tentang perlunya memulai sebuah diskursus Theologi. Dengan cara memaparkan masalah serta pilihan-pilihan yang kita hadapi sejelas-jelasnya. Saya sendiri berharap bahwa pemikiran-pemikiran yang akan ditawarkan dalam tulisan ini cukup mampu memberikan pijakan dalam upaya terobosan dalam mencari kemungkinan lain dari kehidupan berTheologi yang genap seperti yang terjadi di tengah kehidupan gereja-gereja sekarang ini.

Tantangan Pluralisme

Pertanyaan yang hendak kita pergumulkan bersama adalah, tantangan pokok macam apakah yang dihadapi oleh agama-agama sekarang ini? Dan bagaimana tantangan tersebut telah memberi dampak pada agama-agama; serta bagaimana agama-agama member respons terhadap tantangan tersebut? Perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi, dan bagaimana perubahan itu mempengaruhi pola pemikiran institusi dan kegiatan agama-agama? Bagaimana pula tantangan tersebut akan mewarnai masa depan dari agama-agama serta hubungan antar agama-agama?

Tantangan agama yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa pluralism merupakan satu-satunya tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan presepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat di mana mereka hidup. Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia dan masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi sebuah kampung kecil dimana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Kelompk-kelompok masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu terhadap yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang tadinya mengisolasi kelompok-kelompok agama di masyarakat.

Pluralism bukan sekedar multiplikasi keperbagian, bukan hanya ekstentif, akan tetapi kualitatif. Pluralism masa sekarang, jenis, bentuk dan isinya berbeda dengan pluralism yang kita alami di masa lampau. Pluralism masa lampau menuntut suatu respon kerukunan, koeksistensi, dan keserasihan hidup dari kelompok-kelompok agama di masyarakat. Corak keperbagian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya; akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak mempedulikannya maka kita akan digilasnya.

Pluralism di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah menampilkan emansipasi bersama dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang bisa bilang sesuatu pihak tak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pluralism jenis yang sekarang ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan semacam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta menanggapinya secara baru.

Juga secara kuantitatif, pluralism di masa sekarang jumlahnya lebih banyak dan lebih kompleks dibanding dengan yang ada di masa lampau. Ini yang disebut multiplikasi keperbagian. Muncul kombinasi-kombinasi serta berbagai bentuk campuran dari berbagai agama yang muncul yang menambah jumlah kelompok-kelompok agama tersebut, baik secara intern maupun ekstern. Di suatu pihak kita melihat jumlah suatu denominasi gereja bertanbah, tetapi jumlah agama bertambah pula. Ada gejala yang kita sebut “New Age”, ada begitu banyak “sekte-sekte” sempalan yang merupakan campuran dari berbagai macam agama, dan juga kombinasi agama dengan berbagai bentuk ideology.

Respon Terhadap Tantangan Pluralisme

Pertanyaan yang mendasar yang dihadapi dalam mencari format Theologi yang memadai untik menghadapi pluralism adalah “apa arti kenyataan pluralism tersebut bagi gereja-gereja?” Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk menentukan refleki atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran yang baru sebagai upaya memberi respon terhadap persoalan pluralisme tersebut. Theologia religionum tak lain adalah upaya refleksi Theologis untuk menempatkan pluralism sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan. (Menanggapi, mengkritisi atau asimilasi ? Teks ke konteks atau konteks ke teks?
  1. Intern dan Ekstern. Guna menyusun sebuah Theologia religionum yang mempunyai pijakan pada realitas, maka kita perlu menunjuk pada dua factor yang akan menentukan corak pemikiran Theologis yang hendak kita bangun. Yang pertama adalah factor intern (gerejawi) yang kedua factor ektern (kehidupan agama-agama secara umum). Pada tataran intern gerejawi, Theologia Religionum merupakan upaya untuk mencari makna Theologis dari pluralism agama-agam tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial dari upaya setiap kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan keadaaan, dengan kata lain ia merupakan wujud daria apa yang selama ini disebut sebagai Theologi kontekstual. Yang menyangkut kehadiran agama tertentu di masyarakat. Sedang pada tataran eksternal bisa dikatakan, bahwa Theologia religionum merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan dari masyarakat maupun masa depan agama-agama. Hubungan-huibunagan agama masa lalu terlalu terbatas dalam hubungan yang bercorak hubungan pasif. Kita menyongsong suatu hubungan yang lebih aktif dan yang bisa membuahkan kerja sema yang lebih erat demi masyarakat yang kita kehendaki bersama. Di sini kita dituntut untuk berpikir lebih positif tentang agama-agama. Bahwa masa depan menjadi masa depan bersama (dan masa depan yang sama) dari semua permasalahannya itulah yang akan mempengaruhi dan membentuk sebuah Theologia religioum.
  2. Persoalan KebenaranMenyusun sebuah Theologi religioum tidak bisa dipisahkan dari upaya yang berhubungan dengan perhatian kita tentang kebenaran. Itu berarti, bahwa kita semua harus berakar kepada rumusan tentang kebenaran yang sudah dihasilkan dalam sejarah oleh tokoh-tokoh pemikir Theologi dalam seluruh sejarah di masa lalu. Juga seluruh pengalaman dan persoalan yang belum selesai dirumuskan di masa lampau. Kebenaran itu menjadi benang merah dari kehadiran agama-agama tersebut, ia tidak bisa terputuskan dan harus tetap terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang baru yang akan dirumuskan tetapi, merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam konteks yang baru. 
Kebenaran itulah yang menjadi dasar dari kehidupan komunitas agama tersebut. Dari tradisi tersebut, kita menemukan criteria untuk berbicara tentang kebenaran dalam konteks yang baru. Aspek yang penting dari kebenaran aspek-aspek itu adalah aspek kritis-profetis yang tersimpan dalam perbendaharaan agama tersebut. Dengan kata lain, suatu aspek, yang terus-menerus harus ditumbuhkan untuk mencari kemungkinan lain dalam konteks pluralism yang serba beragam tersebut. 

Dengan aspek kritis dari kebenaran tersebut, maka ia akan selalu terus mencari dan melakukan eksplorasi yang tak ada habis-habisnya. Dengan demikian, aspek utama Theologia religionum sebenarnya adalah karakteristik yang kritis tersebut. Sudah barang tentu, semuanya itu harus diterjemahkan dan, diperkembangkan dari inti iman yang diakui bersama dalam setiap komunitas keagamaa tersubut.

Perumusan Theologia Religionum

Sebelum kita melakuka eksplorasi lebih lanjut, kita kembali kepada pertanyaan utama, “kenapa kita justru membutuhkan sebuah Theologia religionum dan bukan Theologi yang lain? Bukan Theologi digmatik yang lebih umum dan menyeluruh, atau Theologi yang bergerak pada sector-sektor yang lain. Kenapa tantangan pluralism kita anggap sebagai tantangan utama bagi zaman ini?” untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa pertanyaan yang dapat kita kemukakan:
  1. Apresiasi aktif. Barangkali akan lebih mudah untuk membahas pluralism secara menyeluruh apabila agama-agama bisa menentukan suatu “indenpenden cerita” yang bisa diterima bersama. Namun, agaknya hal itu tidak mungkin. Kita tidak mungkin menemukan “independen cerita” tersebut, karena tidak ada criteria objektif yang berlaku universal untuk semua agama, yang bisa diterima oleh semua dari semua agama (Ada kebenaran Universal yang obyektif). Oleh sebab itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah memulai tugas ini dari setiap individu agama sebagai sebuah refleksi kritis yang sifatnya sbjektif. Suatu pemahaman yang sungguh-sungguh tentang makna pluralism yang hanya bisa diselenggarakan dari dalam. Oleh sebab itu, tak bisa tidak, ia menuntut sebuah pendekatan Theologis. Kita perlu memulainya  dengan kesadaran kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri dalam seluruh tradisi yang kita kenal selama ini guna merumuskan makna Theologis dari agama-agama dan agama-agama kita sendiri. Kita terpanggil untuk mengambil inisiatif untuk melakukan suatu “apresiasi aktif” terhadap agama-agama lain. Upaya ini tidak menunggu, akan tetapi suatu refleksi dari urgensi dari kebutuhan kita untuk membuka sekat-sekat yang ada pada diri kita sendiri, serta untuk meruntuhkan prsangka-prasangka lama yang ada dalam diri kita sendiri (timbulnya sebuah keragu-raguan), baik di masa lampau maupun sekarang ini. Tidak mempersoalkan kesiapan dari pihak lain. Melainkan untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan kita sendiri. Ini merupakan cara membongkar bangunan lama yang tidak cocok lagi, karena ia mengisolasi diri kita selama ini. Theology semacam ini akan menjadi upaya untuk membangun jembatan yang baru yang di dasarkan pada criteria dan idion kita sendiri, untuk membuat evaluasi dalam menghadapi dan menilai, mengkoreksi cara kita memandang agama-agama lain. Dengan itu kita lebih respek kepada tradisi keimanan yang lain.
  2. Titik Tolak Trinitas. Theologia religionum berdasarkepada totalitas ajaran keimanan Kristen. Kontras antara tekanan partikularitas dan universalitas selalu merupakan ketegangan abadi dari agama-agama. Dan kedua kutub tersebut selalu mengjadi cirri ketegangan yang kreatif dalam agama. Keduanya tidak bisa dipungkiri dan disisihkan, karena keduanya merupakan bagian yang intern pada setiap agama. Dan Theologia religionum juga harus memainkan perannya dan perumusannya dalam rangka ketegangan kreatif antara kedua kutub tersebut.

Memang, hanya bisa kita katakana Theologia religionum akan merupakan ketegangan yang besar kepada aspek universalnya, tanpa melakukan segi-segi keunikannnya. Atau dengan kata lain keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi dia dilihat dalam prespektif universalnya. Inilah yang kiranya merupakan “yard stick” (tiang penopang, ukuran) dalam menguji Theologia religionum itu. Yaitu ajaran tentang universalitas agama itu.


Dalam rangka ajaran Kristen tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran trinitaris, yaitu bagaimana kita mengungkap relevansi dan ajaran tentang Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama non-kristen. Baiklah untuk, sementara kita sisihkan dulu Roh Kudus karena soal itu barang kali jauh lebih “mudah” kita lakukan.

Pertanyaan yang utama dalam ajaran agama Kristen adalah bagaimana kita menempatkan dan memikirkan hubungan antara Kristologi dan Theologi. Kristologi kita anggap sebagai bagian dari keunikan partikularit sedang Theologi bagian dari universalitas . soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru sehingga mampu memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum, kita bisa katakan, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan kepada konteks pluralisme agama-agama seperti yang sekarng ini. Mungkin, disinilah tepatnya kita mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah Theologi agama-agama dan bukan kristologi agama-agama. Sebab tekanan yang hendak kita berikan adalah universalitas itu.

Maksudnya disini bukan berarti bahwa kristologi itu harus kita gantikan dengan Theologi atau sebaliknya, karena keduanya bukan alternaatif satu dengan yang lainnya. Keduanya justru bagian yang saking melengkapi. Pilihan kita bukan salah satu apakah kristologi harus digantikan dengan Theologi. Karena kristologi mempunyai corak yang ekslusif. Theology memang bisa menembus kelemahan atau keterbatasan tertentu. Lalu, keduanya diterobos dengan pneumatologi.

Semua itu bukan menggantikan, mengabaikan, atau menampk satu terhadap yang lain, seperti yang banyak diusulkan para Theologi pluralis. Yang kta butuhkan adalah, bagaimana kita mengerjakan Theologi kristologi, atau pneumatoligi, sehingga menjadi “Christology of religions” atau “Theology of religions” atau “pneumatologi of religions”. (Perlu hati-hati terhadap statement tersebut, sebab bisa berimplikasi bahwa persamaan kristologi atau penumatologi ada di dalam agama-agama lain). Apapun namanya, semuanya itu harus merupakan langkah apresiasi terhadap plralisme agama-agama. Menciptakan ruang untuk menghargai agama lain, untuk menghormati agama lain. Semuanya harus dilakukan untuk tidak mengulangi kesalahan dan indeferendsi yang lama. Mungkin bagi pemikir Theologi Kristen, cukup untuk mengatakan bahwa Theologi religionum yang baik dan memadai adalah yang bercorak trinitaris.

Soteriologi

Kecuali soal kebenaran yang unuk dan uiversal tersebut, soal lain yang sangat penting addalah soal soteriologi. Di sini bisa dipertanyakan kembali: sampai seberapa jauh sebenarnya pemahaman mengenai keselamatan itu memberikan corak tertentu kepada Theologi kita, dan bagaimana hubunganya soal kebenaran itu? Bagaimana kristologi Theologi yang mengklaim kebenaran itu menempatkan agama-agama dalam kerangka besar umat manusia?

Di sini kita bergumul kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk theology dan kristologi yang kaku dan meberikan ruang yang bebas dan positif untuk mengakui kehadiran dan nilai agama itu dalam pemahaman soteriologi kita, dan pemikiran kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan soteriologi, maka kristologi dan Theologi bisa diatasi dengan baik. Sehingga, kita tidak berbicara tentang Theologi atau kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi agama-agama di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan. (dalam agama lain ada keselamatan yang dikerjakan oleh Roh/Allah. Benarkah?

Selama ini, mungkin karena tekanan kita terlalu berat kepada Theologi agama-agama maka, ada banyak kritik yang megatakan bahwa ini hanya menyangkut agama-agama “wahyu” saja yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedang agama-agam Timur lainnya seperti Hindu, Budha dan Konfusianisme tidak mendapat tempat sewajarnya, kecuali ada pemaksaan tertentu. Mungkin di masa depan pneumatologi ini akan merupakan terobosan baru bagi upaya untuk merangkum agama-agama. (hati-hati ada usaha memformulasikan supaya sama dan setara).

Soteriologi memberi horizon yang lebih konkret. Ia merupakan sambungan antara doktin dan praksis. Setidak-tidaknya, ia merupakan gabungan antara kerangka teoritis yang bisa mempertemukan doktrin dan etika, serta bisa memberi titik pijak yang memberi tekanan kepada soal etika menjadi penting. Tidak perhatian yang khusu dan terfocus di sana.

Theology agama-agama harus diabdikan kepada upaya untuk meengkonkretkan iman kepercayaan, untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Kebenaran menjadi konkret dalam kenyataan kehidupan. Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju ialah ungkapan praksis dari hubungan antar agama itu . Paul Kinetter telah berusaha dalam bukunya “NO OTHER NAME?” untuk mengeksplistkan suatu konsern tentang kebenaran digabung dengan komitmen etika. Ini merupakan suatu langkah yang harus dijajaki.

Kebenaran telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging . antara creed dan deed antara doktrin dan tingkah laku, antara Theologi dan praksis, antara iman dan buah-buahnya antara ortodoksi dan otopraktis, telah dipersatukan. Demikian perlu dipikirkan untuk menciptakan pemikiran suatu yang lebih utuh tentang hubungan antar wahyu (revelation) di satu pihak dan soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan Tuhan (revelation) akan memberikan inplikasi yang positif pula kepada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.

“Self Anderstanding”

Agaknya tidak usah disangsikan, bahwa semua agama perlu membuat versi Theologia religionum sendiri yang terbuka dan positif. Hal itu tak bisa dihindari, karena dunia majemuk dan agama yang majemuk yang meliputi seluruh dunia. Kenyataan global ini menantang semua agama serta menuntut mereka untuk mengklarifikasikan dan menjelaskan sikap mereka satu terhadap yang lain. Agama secara individual dituntut untuk menjelaskan secara baru, sikap yang baru untuk menciptakan attitudes yang baru terhadap yang lain.

Jadi, ia merupakan suatu yang baru re-interpretasi terhadap agama-agama, dan dipihak lain merupakan suatu “self understanding” yang baru bagi gerja-gerja dan umat Kristen. Ia berfungsi ke dalam umatnya sendiri, dan berfungsi sebagai jembatan untuk melangkah keluar yang menghubungkan umat sesuatu agama dengan umat beragama lain yang punya tradisi pemikiran keagamaan yang berbeda. Ia melakukan penyempurnaan dan dan koreksi terhadap seterotip yang lama yang cendrung menciptakan konflik yang sia-sia.

Tantangan Peradaban, Respons Gerejawi

Pertanyaan yang bisa kita kemukakan ialah: apakah yang khas yang akan terjadi dalam milineum yang ketiga ini? Tantangan apa yang bakal muncul yang berbeda dengan dua ribu tahun yang sudah berlalu? Konsentrasi kita memang pada pluralism. Kita diperhadapkan pada soal keperbedaan, kemungkinan lain serta alternative yang lain yang ditawarkan begitu banyak. Dan kita harus memberi respons yang memadai. Kita bukan hanya mengubah, tetapi juga diubah oleh perubahan yang sedang terjadi. Dan, ini merupakan tantangan kita untuk mempersiapkan diri dalam mendatangi kedatangan milineum yang ketiga itu.

Tantangan Milineum Ketiga

Pada milineum ketiga, kita ditantang untuk memberi makna kepada apa yang disebut “religious otherness” itu. Dalam ribuan tahun yang pertama, kita melihat dalam sejarah bahwa keperbedaan agama telah melahirkan suatu masa panjang yang amat pahit. Yaitu masa intoleransi (persecution) yang amat panjang dan amat “sadis” dalam sejarah kemanusiaan.

Dalam ribuan tahun yang kedua kita melihat masalahnya sebagai sedikt lebih beradab, sekalipun semuanya masih berakar kepada adu kekuatan baik fisik maupun mental. Semuanya masih diukur denagan menang atau kalah. Ada banyak kematian yang terjadi, akan tetapi terutama “theological killing” menjadi corak utama dari ribuan tahun yang kedua dari sejarah manusia beragama.

Sedang dalam melinium ketiga kita menghadaopi sesuatu yang lain, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kita tetap menjaga identitas kita tanpa meremehkan, dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan  integritas agama orang lain. Ini cara yang sedikit banyaknya secara ideal lebih beradab sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Tanpa menekan dan mengeliminasi orang lain, akan tetapi bagaimana tetap bertahan dan melakukan perubahan dari dalam, dan hidup sebagaimana manusia yang beradab. Dalam masyarakat majemuk kontemporer sekarang ini, ada banyak produk hukum yang melindungi hak-hak asasi serta melindungi integritas dari keyakinan yang tak bisa dilecehkan dengan bebas begitu saja. Sikap pelecehan agama perlu diatur dalam hukum.

Peradaban kita yang sekarang memang telah sampai kepada upaya bersama untuk saling menghormati satu sama lain. Semua itu berlawan dengan konteks hidup modern. Kita melihat ada banyak beban sejarah yang melekat pada kehidupan keagamaan kita sekarng ini. Sebagai contoh, sinode Dutch Reformed Churc di Belanda masih memuat dalam keputusan sinodenya tahun 1986 yang mengatakan “agama Islam adalah agama sesat (palsu) dan berbahaya mengancam secara serius terhadap kekristenan dan kemanusiaan”. (bagaimana menurut anda?)

Oleh sebab itu, agama Islam harus diwaspadai. Di sini kita melihat bahwa beban yang diwariskan oleh cara pandang colonial masih melekat pada sebagian dari gerja-gereja di Barat. Dan contoh lain adalah pengakuan (semacam anggaran dasar) gereja HKBP yang sampai sekarang masih menyelipkan kepedihan dari sentiment keagamaan dari abad ke-16, semasa Marthin Luther dengan tetap mempertahankan kecurigaan negative terhadap gereja Katolik. Di sini kita melihat bahwa hubungan  negatif Islam-Kristen belum juga selesai selam 14 abad. Dan ini kalangan Kristen sendiri membutuhkan waktu 5 sampai 6 abad untuk memikirkan corak hubungan yang lebih baik dari abad ke-17. Hal-hal seperti itu harus dipikirkan ulang dan diganti dengan sikap atau rumusan yang lebih baik cerdas dan beradab.

Dengan kenyataan seperti itu, maka bisa kita katakan bahwa ada begitu banyak pernyataan mengenai agama lain diterbitkan, seolah-olah penganut agama lain itu tidak ada, atau tidak mendengar apa yang ditulis dalam pernyataan tersebut. Seolah-olah seperti pengadilan “in absenstia”. Seolah-olah dalam gama lain tidak ada ahli dalam agama itu, sehingga dipandang dengan mata memicing sebelah. Bahkan tidak dibayangkan bahwa akan ada orang lain yang akan membaca dan memberi tanggapan, mereka dianggap tidak ada, sehingga tulisan mengenai agama lain itu sama sekali bersifat tidak dialogis.

Dirumuskan dengan mengandaikan ketidak hadiran penganut agama lain. Mereka dianggap “absent” bahkan “non-exist”. Dan cendrung memaksakan presepsi dari penulis dengan agama lain tersebut. Dengan itu memang sulit dicapai apresiasi positif dan aktif terhadap agama lain. Dan tidak diberi kesempatan internal dari refleksi dari agama lain untuk memikrkan reaksi yang mungkin timbul, bahwa apa yang dinyatakan tersebut mempunyai dampak, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. (sikap dan cara perlu dokoreksi, keyakinan tetap dibangun di atas dasar yang tetap).

Dalam menyusun pertanyaan mengenai agama lain maka kehadiran umat beragama lain sungguh tidak dipikirkan secara serius. Tidak diandaikan, bahwa mereka juga kritis terhadap pertanyaan itu. Sehingga tak ada proses untuk ruang berpikir yang baru, yang bisa keluar dari presepsi yang berdasarkan pengalaman yang baru mengenai pluralisme. Karena itu sampai sekarang kita belum bisa keluar dari jenis literature Theologi yang pada dasarnya bersifat antitesis, polemis, dan apologetic.

Jadi, dengan demikian dampat kita simpulkan bahwa metode dari perumusan Theologia religinum dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses. Dengan demikian ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal. Hanya dengan cara itu, maka akan dilahirkan Theologia religionum yang berbobot dan yang benar-benar berpijak kepada kenyataan, dikontrol dan diawasi. Sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil positif. (toleransi antar umat beragama ya, dan perlu didiskusikan dan dicari titik temu, namun toleransi antar agama adalah berbahaya yang akan melahirkan sinkritisme).

Tantangan Eksklusifisme (Barth, Kraemer)

Kita menghadapi kristologi yang kolonialistis dan imperialistis, tetapi kita juga menghadapi godaan yang sama dari jenis Theologi universal yang pada dasarnya sangat paternalistis dan eurosentis. Seolah-olah seluruh pengalaman rohani dan intelektual keagamaan harus dijabarkan dalam paradigma yang bercorak Barat dan universal. Sebab jelas, bahwa kritik India dari Smith untuk memindahkan aksen dari kristologi ke Theologi. Namun, Theologi smith sendiri mengandung kelemahan-kelemahan yang sulit diatasi khusunya agama-agama Timur seperti Hindu yang poliheistis, Budha yang non-theistis (tidak mengandalkan diri pada paradigm mengenai Tuhan), dan Konfusianisme, dan khususnya ideology yang sekularistis yang tidak membicarakan Tuhan dalam tata  pikirannya.

Bagaimana juga bisa diakui bahwa Theologi universalnya W. Cantwell Smith bisa mengatasi ekslusifisme tokoh-tokoh lama seperti Barth dan Kreaemer, dan memberikan suatu pijakan pemikiran yang baru? Jelas-jelas dalam pemikiran Theologi Kraemer, kristologinya merupakan suatu “bentuk imperialism keagamaan” (fasilitas agama). Yang menunjukkan aroganis dan sikap yang sangat partikularistis, dan hal itu dengan efektif dihembus oleh orang seperti Smith dan John Hick yang menyatakan bahwa ada suatu “revolusi berpikir” dalam masyarakat pluralistis ini, yaitu dari “geosentrisme” (baca: kristosentrisme) kepada “heliosentrisme”(baca: theosentrisme). Paradigmanya berubah dari eksklusifisme ke arah pluralism. (apa dasar pijakan, bukankah Alkitab dan bagaimana kata Alkitab?)

Kristologi semacam itu tidak bisa lagi dipakai untuk menilai secara positif agama-agama lain. Upaya mencari kebenaran menjadi upaya penghakiman agama yang memutuskan hubungan. Smith menunjukkan, bahwa yang penting adalah keimanan kepada Tuhan, dan bukan kepada Kristus yang juga beriman kepada Tuhan. (silogisme : Kristus adalah penyelamat, Kristus adalah Tuhan dengan demikian Tuhan adalah penyelamat ?).  Jadi sumbangan pemikiran Theologi Smith saya kira secara efektif telah mampu mengkoreksi kelemahan dan keterbatasan dari Theologi krisis atau neo-orthodoksi, atau Theologi dialektiknya Bert dan Kraemer.

Kita tidak memakai argument bahwa Theologi kritis tersebut dibentuk dan dibuat pada zaman sebelum perang Dunia ke-II, yang untuk masa pluralism sekarang sudah tidak relevan. Kelemahan Smith adalah kelemahan yang inheren pada setiap bentuk Theologi yang dibuat untuk menjawab pertanyaan dan problem yang khusus, di sana kekuatannya dan sekaligus kelemahannya.

Semua itu dikemukakan oleh antara lain Georgre Chemparaty dalam artikelnya “Dialaectical Theology and Non-Christian religions”, kritik yang tajam kepada Theologi dialektikyang bercorak negative kepada agama lain berdasarkan kristosentrisme yang berlebihan. Kita harus mencari kemungkinan lain, kemungkinan yang berbeda dari posisi seperti itu. Pandangan tersebut, sekarang ini berinkarnasi pada fundamentalisme Kristen yang muncul dalam bentuknya yang lebih buruk dan lebih dangkal, yang menilai agama-agama hanya sebagai “anak-anak setan” yang menuju neraka. Karena itu, tak ada pengertian kontinuitas dan tak ada “poin of contact” antara agama Kristen dan agama-agama non Kristen. (ada point of contak, tapi stigma negatif perlu direvisi dengan bahasa mengasihi bukan bahasa menghuzat, namun perlu ada ketegasan dialektikal). 

Pandangan tentang wahyu juga diberikan pemahaman yang amat sempit mengenai soteriologi, dan cenderung terperangkap dalam mentalistas ghettol dalam kehidupan beragama. Oleh sebab itu, pada hemat saya Theologi dialektik harus ditolak sebagai pilihan yang tidak relevan dengan tatanan dunia plural sekarang, dan harus diganti dengan sesuatu yang baru, yang lebih berakar kepada pergumulan mengenai pluralism agama.

Theology krisis berhadapan dengan masalah totalitarianisme ideology naziisme. Dan mengaplikasikannya ke pada dunia agama-agama, dan semboyan: “sola fide et solo christo”. Dan anehnya, semua itu dilakukan tanpa pengetahuan secukupnya tentang agama-agama non Kristen. Sehingga, terjadi ketimpangan yang mencolok dalam memahami agama-agama tersebut. Konteks dari Theologi krisis tidak relevan lagi untuk diterapkan pada situasi yang sekarang, di mana prinsip emansipasi justru menempatkan semua kelompok masyarakat untuk mengambil bagian dalam pergaulan yang beradab dari umat manusia.

Sikap negative (ekslusif) pada zaman sebelum perang Dunia II dianggap sebagai nilai (value), sedang pluralisme dianggap sebagai problem; sedang di masa sekarang justru sebaliknya yang terjadi plurlisme dianggap sebagai nilai dan sikap eksklusif dianggap sebagai problem. Dengan perubahan paradigma dan pemahaman ini maka kita mencoba mencari trace (jejak) baru dan kemungkinan baru bagi perumusan Theologia religionum yang baru.

Tantangan Pluralism Ekumenis

Dalam tulisannya dalam buku “Christt Lordship and Religious Pluralism” W. Cantwell Smith mengemukakan salah satu aspek yang perlu kita simak tentang pluralisme di kalangan Kristen. Dan ini  merupakan kenyataan yang secara sungguh harus diperhitungkan. Kita melihat apa yang disebut kesadaran tentang “multiplicity of alternatives”, yang dihadapi dalam konteks pluralisme yang sangat derastis di hadapi oleh semua warga masyarakat.

Situasi dunia, masyarakat agama dan denominasi Kristen, Pluralisme dari eksegesis, dari model bergereja (organisasi) dari bentuk kepimpinan, dari kegiatan serta misi gereja, serta pemahaman tentang ajaran-ajaran yang dianggap ortodoks. “…that Christian tradition is a religiously plural one…”, bahwa tradisi Kristen merupakan tradisi yang sangat majemuk, bukan sesuatu yang monolitik dan uniform.

Sehingga, yang kita hadapi adalah suatu pluralism yang coraknya khusus. Dan eksklusifisme dalam kekristenan ini hendak dipecahkan dengan metode yang sama dengan cara menghadapi pluralism yang ekstern, yaitu dengan mengembangkan dialog dalam kerjasama antar denominasi. Dan eksklusifisme dianggap sebagai sesuatu yang immoral, dan merupakan ilusi dan heritik dalam arti yang sesungguhnya. Yang muncul dalam banyak sekte yang totalitarian dan sectarian. Theologia Religionum juga bisa berperan dalam hubungan semacam ini, sehingga sebuah Theologia relogionum sesungguhnya juga bisa memiliki peran yang bisa mengatasi soal hubungan antar denominasi dengan semangat yang lebih apresiatif. Ada banyak kesejajaran yang kita temui saat kita memikirkan persoalan hubungan antar agama dengan hubungan antar gereja.

Dialog dan Kolaborasi Antar Agama

Dengan Theologia religionum dan dengan dialog akan dapat diciptakan jembetan untuk menciptakan dasar bagi kolaborasi antar agama. Theologia religionum bukan upaya untuk mengeluarkan (mengeksklusifkan) agama-agama lain, akan tetapi sebaliknya untuk membangun suatu jembatan kerjasama. Bukan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah, akan tetapi membangun sebuah diskursus untuk membangun kerjasama etika antar agama. Thgeologia religionum pada dasearnya adalah sebuah Theologia untuk membangun dialog dan kerjasama antar agama. Perspektifnya adalah mengarah kepada kesimpulan yang bukan hanya principal, akan tetapi menyangkut langkah nyata. Jadi, Theologia religionum bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar agama. (jika hanya untuk membangun kerjasam etika antar agama supaya semakin beradab, mengapa harus mengorbankan kebenaran fundamental ?)

Dialog Antar Agama

Dialog antar agama adalah sebuah wacana yang tak bersifat teoretis belaka, akan tetapi menyangkut diskursus dari semua pemikiran yang mempengaruhi perkembangan dan mempengaruhi kehadiran dari agama-agama tersebut di masyarakat. Dialog itu terbentang sedemikian luas sejauh jangkauan cakrawala berpikir, sejauh jangkauan dari eksplorasi yang bisa terjadi dan juga menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang bisa menjadi agenda yang bisa didialogkan bersama.

Tetapi, tentu yang menjadi focus utama adalah menyangkut aktivitas dimana distorsi dari persepsi keagamaan yang ada di masing masing pihak pada instansi pertama harus diluruskan dan dijernihkan. Sehingga, tidak bisa lagi dengan sengaja dilukiskan secar karikatural mengenai agama lain yang menyalahi, kesalahpahaman yang sengaja yang tak bersetuju dengan pandangan yang dimengerti dan diakui umat agama lain. (ini soal etika ?)

Dengan begitu, sebenarnya sebuah langkah dialog pada instansi pertama adalah sebuah langkah korektif terhadap distorsi tersebut. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa tidak semua agama menghadapi persoalan yang sama, oleh sebab itu dalam mengemukakan jawaban juga tidak perlu sama. Dengan demikian, kenyataan tersebut justru akan memperkaya setiap agama yang melakukan dialog. Berdasarkan kelebihan dan kedalaman yang ada pada agama-agama yang berbeda tersebut.

Sudah barang tentu harus diingat pula kandungan misioner dari setiap agama, yaitu untuk memberlakukan klaim universal dari kebenaran yang diakuinya. Panggilan missioner semacam itu juga menjadi ajang komunikasi yang positif yang justru bisa memberikan kemungkinan bagi adanya dialog yang produktif. Jadi aspek apostolic dan aspek missioner dan profetik dari dialog itu pada dasarnya bukan untuk membela kebenaran sendiri, akan tetapi juga memberi dan menerima kesaksian kepada orang lain.

Gavin D’Costa dalam bukunya “Theology and Religious Pluralism” mengemukakan perluinya dikembangkan dua arah dari dialog, yaitu yang pertama: personal dialogue, anggota komunitas keagamaan secara pribadi dan informal, dialog antar penmeluk agama. Yang bisa membahas apa saja yang mereka agendakan. Dialog ini bersifat personal. Tidak atas nama komunitas resmi dan tidak mewakili mereka. I-Thou Relationship seperti model Martin Buber. Di pihak lain ada juga model lain dialog yang kedua yang lebih resmi yang merupakan dialog institusional. Yang merupakan wakil resmi dari agama tersebut. Dialog model kedua ini lebih resmi. Dua hal ini perlu dilakukan secara bersama.

Kolaborasi Antar Agama

Soalnya adalah, bagaimana menghasilkan buah-buah iman yang berguna bagi orang lain? Bukan sendiri-sendiri, akan tetapi bersama-sama. Aspek praksis dari kerjasama antar agama ini merupakan “jalur keluar” dari kebutuhan yang bisa terjadi dalam dialog teoretis antar agama. Karena kita selalu terganggu dengan kenyataan yang mungkin terjadi, bahwa memang mustahil untuk menjadikan salah satu agama menjadi pengganti dari agama-agama yang benyak itu, dan juga ketika gagal membuat suatu agama kita menjadi benar-benar universal, maka sendi-sendi etika bisa ditawarkan sebagai kemungkinan lain. Bukan doktrin yang mencakup semua agama akan tetapi pada tingkat etika kita bisa mengajukan proposal bersama dari kerja sama antar agama.

Jadi, ada kemungkinan bahwa konsern etika dan yang lebih praktis ini justru mampu melahirkan suatu platform konsern yang lebih luas dari pada basis yang bercorak teoretis apabila Theologi universal telah mencapai perkembangannya yang terakhir dan tidak bisa dikembangkan lagi, mentok, maka dimensi etika ini justru masih bisa melakukan eksplorasinya sendiri. Praksis justru terbentang luas tanpa batas. Jadi dengan kata lain kita tidak lagi memimpikan adnya suatu “common religion for common humanity”, akan tetapi masih bisa melakukan kemungkinan kolaborasi antar agama dalam bidang etika. Kita bisa berbicara tentang “common problem and common mission”. (Peroalan bersama dan misi bersama).

Kita menyadari bahwa mungkin sulit untuk menciptakan suatu “universal Theology of Religion” yang bisa mencakup dan diterima oleh semua agama. Sudah banyak kritik terhadap pretense semacam itu. Karena, dengan itu keunikan dari agama-agama kemungkinan akan digilas dan dibypass, dan cenderung mengkecilkan makna dari pluralism itu sendiri. Sebab, theologia religionum bukan dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antar agama, akan tetapi hanya memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut.

Sehingga, keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugrah tuhan. Partikularitas agama-agam tersebut tidak dihilangkan. Theologi universal tersebut memang harus diakui keterbatasnnya, yaitu sejauh ia diterima secara sah sebagai ungkapan dari kelompuk suatu agama untuk menghargai agama lain degan caranya sendiri dan terbatas pada konteksnya sendiri. Tetapi tidak bisa di klaim sebagai (…?) dengan sendirinya relevan untuk konteks yang lain. Untuk itulah, maka dimensi etika lebih muncul sebagai option atau pilihan yang lebih bersifat “universal”. Aksen pada etika akan jauh lebih memiliki potensi perubahan dibanding dengan aksen yang bersifat teoretis. Khususnya untuk kuonteks di Indonesia. Tetapi, hal itu hanya bisa terjadi apabila didukung oleh sebuah Theologi yang bersifat terbuka dan apresiatif terhadap iman kepercayaan lain. Bahkan, bisa dikatakan bahwa kerjasama yang sungguh-sungguh tak mungkin dilakukan tanpa suatu sikap fundamental yang positif terhadap agama lain.

Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam merumuskan Theologia religionum di Indonesia adalah agar gereja-gereja secara Theologis bisa merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya, serta rasa senasib sepenanggungan untuk menghadapi persoalan bersama di masa depan, serta bisa menjalin kerjasama yang erat antaran semua orang yang beriman.

Di sinilah kegunaan dari Theologia religionum dalam melengkapi umat untuk mampu masuk dalam kerjasama antar agama secara produktif. Malahan ia merupakan fungsi untuk mendukung kerjasama tersebut. Hal itu merupakan proses internalisasi dari umat beragama untuk mampu berhadapan secara terlengkapi dengan bekal suatu dasar Theologis menerima orang lain sebagai mitra kerja.

Theologia Religionum dan Agama Transformatif

Dalam bentuk semacam itu maka agama akan menjadi agama transformatif yang bisa memberikan ilham bagi semua orang. Memberikan harapan, moral yang tinggi dan kesadaran yang mendalam kepada warga masyarakat. Di situ, agama menjadi agama yang mempunyai kekuatn transformative dan kreatif bagi masyarakat. Ini merupakan bagian inti profetik agama-agama menjadi potensi agama-agama mampu tampil bersama-sama selaku pemberi alternative dan selaku penerang bagi masalah kemanusiaan sekarang ini.

Yang dibutuhkan bukan pandangan ekspilisit saja, akan tetapi juga aplikasi dari doktrin keagamaan dalam kenyataan kontemporer sekarang ini. Penjabaran dari doktrin keagamaan dalam praksis politik, ekonomi dan kebudayaan dan segenap bidang hidup itulah yang akan memberikan corak transformative dari kehadiran agama.

Jadi Theologia religionum sedemikian  rupa, sehingga memiliki posisi yang benar-benar komited kepada perubahan masyarakat. Dan juga memberikan solidaritas kepada mereka yang menjadi korban dari tingkah laku msyarakat sekarang ini. Sebuah Theologia religionum tak akan banyak gunanya apabila itu terisolasi dari komitmen untuk menegakkan keadilan, dan lain-lain masalah yang mencuat sekarang ini.

Theologi tidak bisa dirumuskan sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi penghalang untuk menghargai iman orang lain. Pernyataan negative dan yang sudah menyatu dengan seluruh system dogmatik kita yang bercorak polimis-apologetis. Baik yang termuat dalam kitab-kitab pelajaran agama, dan dalam kidung-kidung pujian, dalam liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama lain, atau yang dianggap suci oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang, hal tersebut telah menyerang kehormatan dan integritas orang lain.

Akhirulkalam (kesimpulan)

Dalam upaya memaparkarkan persoalan serta alasan untuk merumuskan Theologia religionum tersebut diatas, bisa kita simpulkan bahwa dengan memikirkan pluralisme, dialog serta kerja sama antar agama, kita memperoleh horizon serta lagit yang baru untuk memikirkan kembali secara menyeluruh pemikiran Theologia kita. Dengan demikian, kita memperoleh pijakan untuk membangun sebuah kemungkinan lain dari cara kita berTheologi, bergereja dan mengembangkan cara kita beragama secara menyeluruh.

Theologia religionum adalah cara untuk memperluas cakrawala dan langit-langit berpikir kita lebih luas dan lebih tinggi. Dengan kata lain, upaya untuk merumuskan Theologia religionum menjadi identik dengan upaya pembaruan Theologi itu sendiri, yang tentu nanti ada implikasinya dalam seluruh kehidupan gereja. Pembaruan Theologi adalah identik dengan upaya Theologia religionum karena konteks yang paling menantang dari kehadiraan Kristen adalah konteks dari pluralism dan pertemuan antar agama. Theologia religionum marupakan “ujung tombak” dari pembaruan gereja dan agama di masa sekarang ini.

Saya berharap, pembahasan Theologia religionum ini bisa menjadi titik tolak bagi langkah terobosan kita, untuk membongkar kemacetan kehidupan Theologia kita, dan dipihak lain bisa memberikan langkah baru untuk menciptakan kehidupan beragama lebih produktif dan manusiawi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar