Senin, 13 Mei 2013

Poligami dan Perceraian dalam Perjanjian Lama

Oleh: Risnawati Sinulingga

Pengantar
Kemitraan perempuan dan laki-laki sering dipermasalahkan. Perempuan biasanya dikemukakan dalam status yang lebih rendah dari laki-laki (Bnd. Lagu "Sabda Alam" ciptaan Ismail Marzuki. "Diciptakan... pria dan wanita. Ditakdirkan bahwa pria berkuasa. Wanita dijajah pria sejak dulu..."). Perjanjian Lama sering dipergunakan sebagai dasar argumentasi untuk membuktikan bahwa status perempuan lebih rendah dari laki-laki. Pembuktian ini, antara lain, dilakukan berdasarkan penafsiran tradisional terhadap Kej. l dan 2. yaitu bahwa perempuan berasal dari laki-laki, untuk laki-laki, bahkan sepanjang waktu statusnya lebih rendah dari laki-laki.1218 Pembuktian yang sama diberikan dengan mengutip bagian Perjanjian Lama yang berbicara "negatif" tentang perempuan.1219 Satu diantara bagian Perjanjian Lama yang dianggap "berbicara negatif" adalah yang mengijinkan poligami dan diceraikannya perempuan dengan cara yang relatif mudah.

Argumentasi dan pembuktian seperti ini jelas tidak dapat diterima. Yang dibutuhkan dewasa ini adalah penafsiran yang alkitabiah sekaligus ilmiah. Lagi pula banyak bagian-bagian Perjanjian Lama lain yang berbicara positif tentang perempuan (dalam perkawinan monogami misalnya), yang tidak boleh dilalaikan. Dalam hal ini, bagian Perjanjian Lama yang berbicara negatif tersebut ditambah bagian-bagian lainnya, termasuk mengenai masalah poligami dan perceraian, membutuhkan suatu metode pendekatan khusus, sehingga melaluinya diperoleh pemahaman yang obyektif mengenai perempuan.

Status Perempuan yang Ambivalen dalam Pernikahan
Perjanjian Lama memberikan gambaran yang bermacam-macam tentang status perempuan dalam perkawinan. Sebagai contoh. perikop yang satu menggambarkan nilai seorang istri yang sangat tinggi, lebih tinggi dari permata (Ams 31:10),1220 sementara itu beberapa perikop yang lain menggambarkan istri bernilai lebih rendah dari pada suami, anak-anak laki-laki, bahkan dianggap sejajar dengan harta dan ternak milik suaminya (Ul 4:21; 29:11; Kel 29:17). Di satu pihak fungsinya digambarkan sebagai istri, dan ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat yang terdiri dari perempuan dan laki-laki (2 Sam 14:2-20; 20:15-22; Hak 4:4-6; 2 Raj 11:1-3; 22:13-20; Neh 6:14; Ester 4; Yoel 2:28). Di pihak lain fungsinya hanya sebatas ibu dan istri yang bertugas melahirkan, dan melayani kepentingan suami (Kej 16; 21:8-21; 30:1-24; Rut 4:1-17; Hak 19). Beberapa bagian Perjanjian Lama memperlihatkan bahwa perempuan bisa sangat dihormati, dicintai, ditaati suami, bahkan bisa lebih bijaksana dari suami (Kej 16:1-2; 21:12; 24:67; 29:18-19; 1 Sam 25:2-44). Sementara itu di bagian lain, ia boleh dihukum secara brutal. diusir dari rumah, diceraikan dengan mudah, keperawanannya diuji dan kesetiaannya dapat disangsikan (Im 21:9; Ul 22:13-19; 24:1-21)

Teologi Alkitab yang Struktural

Harus diakui bahwa selain gambaran yang beraneka ragam tentang perempuan, di dalam banyak bagian Perjanjian Lama terdapat bahas teologis yang berbeda-beda. Hal ini bersumber dari makna konsep. tema dan institusi pada buku-buku Perjanjian Lama yang beraneka ragam, bahkan kadang kala sepertinya kontradiksi satu dengan lainnya.1221 Perbedaan ini disebabkan oleh tradisi dan buku yang berbeda, misalnya tradisi sejarah berbeda dengan tradisi para nabi, khususnya dengan tradisi hikmat. Penyebab lain adalah motif yang berbeda dari Perjanjian Lama yang satu dengan yang lainnya.' Adalah sangat tidak jujur bila seseorang hanya menghitung kontradiksi tersebut, atau membahas hanya satu perikop, tanpa mencoba mencari penjelasan teologis dari perikop-perikop yang lain yang memberikan bahasan yang berbeda.6 Sehubungan hal ini, status perempuan dalam perkawinan, khususnya dalam poligami dan perceraian, memerlukan metode pendekatan khusus, yang tidak hanya menghitung perbedaan konsep, atau berpegang pada ayat yang "berbicara negatif" atau "berbicara positif'. Pendekatan ini adalah pendekatan yang alkitabiah dan struktural, sehingga melaluinya diperoleh teologi alkitabiah1222 yang struktural, yaitu teologi tentang perempuan yang diperoleh dengan menafsirkan (tentunya berdasarkan prinsip hermeneutik yang alkitabiah) ayat-ayat representatif bagi seluruh Perjanjian Lama dalam bahasan poligami dan perceraian.
Bagian-bagian Perjanjian Lama yang representatif bagi bahasan poligami dan perceraian adalah perikop tertentu dari laporan penciptaan, beberapa undang-undang perkawinan dari Kitab Pentateukh, cerita-cerita dari Kitab Sejarah, dan materi pendidikan dari Literatur Hikmat, khususnya Kitab Amsal. Bertalian dengan topik poligami dan perceraian dalam Perjanjian Lama, bagian-bagian yang representatif ini memperlihatkan tiga konsep perkawinan, yang pertama konsep yang ideal, kedua konsep yang toleran, dan ketiga konsep yang refleksif.

Konsep yang Ideal

Konsep yang ideal mengenai status perempuan dalam perkawinan, khususnya yang berkaitan dengan poligami dan perceraian berada pada Kej 2:23-24; Kej 1-3, bahkan seluruh pasal Kitab Kejadian tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Memang Kej 1:1-2, 4a diduga berasal dari sumber P pada masa sesudah pembuangan, sementara itu Kej 2:4b-24 berasal dari sumber J pada masa Kerajaan. Tetapi secara umum telah diterima bahwa kedua perikop ini sudah ada dalam bentuk tradisi lisan jauh sebelum penulisannya. Khususnya amat penting diperhatikan bahwa sang redaktor menggabungkan Kej 2:4b-24 kepada Kej 1:1-2,4a untuk memperlihatkan hubungan cerita dalam Kej 2:4a-29 kepada keadaan permulaan penciptaan.1223 Selain itu perlu digarisbawahi bahwa berdasarkan analisa bentuk cerita pada Kej 2:4a-24 adalah primeval saga, yaitu cerita yang dituturkan bukan saja untuk mengemukakan hubungan suami istri pada dunia mula-mula yang bergerak ke dunia kini saat pembentukan saya tersebut, tetapi juga untuk mengajarkan hubungan yang ideal1224 yang direncanakan Allah pada permulaan penciptaan sebelum kejatuhan ke dalam dosa. Literatur hikmat, khususnya Kitab Amsal mengandung konsep teologis dan etis yang sangat berbeda mengenai perkawinan dengan tradisi yang lainnya, karena kitab ini berisi bahan pengajaran, dan yang diajarkan tentu yang idealnya.1225
Perkawinan merupakan kebahagiaan tertinggi bila konsep ideal tentang perkawinan itu dilaksanakan. "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kej 2:23b). Jikalau bentuk kalimat dan pemakaian kata pada ayat ini dianalisa dalam bahasa Ibrani, maka benarlah yang dikemukakan Gunkel bahwa ayat ini merupakan klimaks dari perikop tersebut, yaitu ekspresi suatu kepuasan puncak tentang perkawinan.1226 Ayat ini juga memperlihatkan hubungan yang benar diantara laki-laki dan perempuan. Orang Ibrani mengemukakan hubungan yang sangat intim bukan dengan mempergunakan istilah "hubungan darah" tetapi "hubungan tulang dan daging".1227 Oleh karena itu hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang sangat intim dan saling memiliki. Hubungan ini bukan hanya dalam hal fisik, tetapi psikologis dan ekonomis, dalam cinta kasih dan juga dalam kesulitan (bnd. Kej 2:24). Hubungan intim yang seperti ini dialami apabila laki-laki Yaazab (artinya: melupakan) ketergantungannya pada ayah dan ibunya (2:23a), dan yang paling penting apabila "keduanya"1228 menjadi satu (2:23b). Kebahagiaan perkawinan dapat direalisasikan hanya bila hubungan intim tersebut tidak dirusakkan (diceraikan) dan bila dalam hubungan tersebut hanya ada dua oknum (yaitu satu laki-laki dan satu perempuan) bukan tiga atau empat.
Konsep perkawinan yang ideal dalam Kitab Kejadian, misalnya pada Kej 4 (perikop pertama yang mengungkapkan terjadinya poligami dihubungkan oleh redaktur kepada konsep yang ideal pada Kej 1 dan 2 dengan memperlihatkan sebagai konsep perkawinan dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia sesudah penciptaan yang oleh dipenuhi kepahitan, kejahatan, dan kematian.1229 Tegasnya, mau dikemukakan bahwa poligami terjadi sebagai akibat dosa. Saga yang berbentuk naratif ini diajarkan untuk menghindari perkawinan poligami.
Konsep ideal yang sama dapat juga ditemukan di dalam Ams 5:15-20; 6:20-26. Konsep ideal tentang perkawinan ini diajarkan guru-guru hikmat kepada orang muda yang hidup pada masa sesudah pembuangan, pada masa mana terdapat kecenderungan orang Ibrani untuk menceraikan istri Ibraninya - istri mudanya (5:16-18).1230 Dalam perikop ini ditekankan perkawinan berdasarkan hubungan yang intim dalam bentuk kesetiaan kepuasan kepada istri yang satu.

Konsep yang Toleran
Undang-undang dalam Kitab Pentateukh mendukung konsep perkawinan yang ideal ini dalam banyak aturan tertulis (misalnya Kel 20:17; 21:5; Im 18:8; 20:10; 21:13, Bil 5:12; Ul 5:21; 17:17; 22:22; 24:5).1231 Tetapi undang-undang yang sama juga memberikan aturan yang toleran terhadap poligami dan perceraian sehingga menghasilkan konsep yang toleran tentang perkawinan, misalnya Kel 21:7-11; Ul 21:10-17; 24:1-4. Aturan-aturan yang mengijinkan poligami dan perceraian (sebagai ganti dari aturan monogami dan perkawinan yang langgeng) dalam perikop ini tergolong kepada aturan kasuistik.1232 Aturan-aturan ini bukan aturan legal yang berlaku sepanjang masa, tetapi berlaku karena kasus yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam kekejaman perbudakan atau peperangan perkawinan, monogami tidak selalu dapat dipertahankan, sehingga terjadilah kasus poligami dan untuk itu dibutuhkan aturan yang melindungi hak perempuan dalam perkawinan itu (Kel 21:7-11; Ul 21:10-17). Dalam kebudayaan Israel kuno yang patriakhal perkawinan yang langgeng tidak selalu dapat dipelihara sehingga terjadilah kasus perceraian, untuk itu dibutuhkan aturan yang melindungi perempuan yang diceraikan atau yang membatasi kesewenang-wenangan laki-laki di dalam perceraian (Ul 24:1-4).1233
Konsep yang toleran tentang perkawinan ini, baik dalam kasus poligami maupun perceraian dikritik dalam Perjanjian Baru (Mat 19:1-9). Aturan kasuistik untuk perceraian disebabkan oleh ketegaran hati orang Yahudi (ay 7-8). Alasan perceraian hanyalah perzinahan (ay 9). Perkawinan monogami yang langgeng merupakan konsep perkawinan yang ideal (ay 4-6).

Konsep yang Refleksif
Konsep yang ideal dan toleran tentang perkawinan direfleksikan dalam Kitab-kitab sejarah. Pembahasan akan difokuskan kepada perefleksian konsep yang tidak ideal, kondisinya dan peringatan yang disampaikan. Pendekatan yang dipergunakan terhadap Kitab-kitab sejarah beraneka ragam,1234 dalam hal mana pendekatan tersebut sangat menentukan gambaran perkawinan yang diperoleh. Pendekatan yang dipergunakan dalam bahasa ini adalah pendekatan bentuk Kanonis, yaitu pendekatan yang menganalisa perikop-perikop yang berbicara tentang perempuan dalam suatu kesatuan, tidak memisah-misah perikop tersebut sesuai dengan sumbernya, dan juga tidak menekankan pengaruh redaktur Deutronomik terhadap gambaran perempuan yang diberikan.1235
Beberapa bagian Kitab-kitab Sejarah memperlihatkan terjadinya perkawinan poligami dan perceraian, tetapi perkawinan seperti ini biasanya berupa kasus semata dan tidak permanen.1236 Perkawinan poligami berlaku dalam kondisi khusus, yaitu kemandulan dan keinginan untuk memiliki banyak anak (1 Sam 1:2; 25:39-40; 2 Sam 3:1-5; Hak 8:30),1237 kebutuhan raja akan hubungan diplomatik, cinta dan hawa nafsu (1 Raj 3:1; 11:3; 2 Sam 11:6),1238 serta posisi sosial dan status ekonomi yang tinggi (1 Sam 1:2; 25:39; 2 Sam 3:1-5; 11:1; 1 Raj 11:3).1239 Adalah suatu kenyataan bahwa seluruh Kitab-kitab Sejarah hanya melaporkan suatu perkawinan poligami yang terjadi diantara orang biasa (1 Sam 1:2).
Kitab-kitab Sejarah memperlihatkan problema yang mungkin timbul dalam perkawinan poligami. Dalam hal ini, problema yang dikemukakan itu berfungsi sebagai peringatan bagi orang yang hidup di dalamnya atau bagi pembaca, bahkan berguna sebagai penolakan terhadap perkawinan poligami. Dalam kitab-kitab ini, hak, otoritas dan kebebasan laki-laki untuk memiliki lebih dari satu istri dibatasi oleh peringatan tersebut. Beberapa problema yang dikemukakan adalah bahaya penyembahan berhala khususnya dari istri asing (1 Raj 11:1-8), dan poligami biasanya menciptakan masalah dalam perkawinan, seperti persaingan di antara istri yang satu dengan yang lainnya (1 Sam 1:6), kematian keturunan (Hak 19), kemungkinan terjadinya kekacauan dan kejahatan yang berlipat ganda (2 Sam 4).
Bagian-bagian Kitab Sejarah yang amat menonjol di dalam membahas masalah perceraian berasal dari masa sesudah pembuangan. Orang Israel yang kembali dari pembuangan bukan saja mengawini perempuan asing. tetapi juga menceraikan istri Yahudi mereka (Ezr 9:13,10; 10:2,11,14,17,18,44; Neh 13:23-27; Mal 2:10-16). bahasan ini disertai dengan peringatan tentang bahaya yang mengancam umat Israel dalam hal kepercayaan, pemilikan dan pengontrolan tanah leluhur mereka,1240 bahkan hukuman dijatuhkan bagi yang tidak mau menyesali perbuatannya yaitu kehilangan status politik dan religi dan hak penguasaan harta milik (Ezr 9:7-15; Neh 13:28).

Kesimpulan
  1. Penafsiran yang menyatakan bahwa undang-undang Perjanjian Lama merendahkan status perempuan dalam perkawinan adalah penafsiran yang tidak obyektif. Prasangka bahwa teks Perjanjian Lama mendukung perkawinan poligami dan perceraian adalah prasangka yang salah.
  2. Untuk memahami status perempuan dalam perkawinan, khususnya yang berkaitan dengan poligami dan perceraian, dibutuhkan pendekatan yang Alkitabiah dan struktural. Pendekatan yang seperti ini memperlihatkan bahwa di dalam Perjanjian Lama terdapat tiga konsep perkawinan, yaitu konsep yang ideal, toleran dan refleksif.
  3. Konsep perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, yang membentuk kesatuan yang sangat intim, bukan hanya dalam fisik, tetapi dalam psikis, cinta, kasih, ekonomi dan segala kesulitan dalam kehidupan.
  4. Undang-undang Kitab-kitab Pentateukh mengandung aturan-aturan tentang poligami dan perceraian, tetapi aturan-aturan ini bukan apodiktik tetapi kasuistik, yaitu diberlakukan dalam kasus tertentu dan diformulasikan justru untuk memberi limitasi terhadap poligami dan perceraian, khususnya melindungi hak dan kebebasan perempuan. Aturan-aturan ini menggambarkan konsep perkawinan yang toleran terhadap poligami dan perceraian.
  5. Kitab-kitab Sejarah melaporkan bahwa poligami dan perceraian tidaklah permanen terjadi. Dan hal itu terjadi di kalangan yang tertentu saja serta disertai dengan peringatan yang keras. Kitab-kitab ini memberikan konsep perkawinan yang refleksif.
 Sumber: Jurnal Pelita Zaman Volume 12 No. 2 Tahun 1997 pada http://alkitab.sabda.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar