Sebuah Ringkasan:
Panggilan hidupnya akhirnya ia temukan bersamaan dengan maraknya kegiatan kebangunan rohani yang melanda kampus Yale saat itu. Ia kemudian mengambil keputusan penting yakni melupakan cita-citanya menjadi pengacara dan membulatkan tekad untuk menjadi pendeta. Khotbanya di kapel Yale seolah-olah menjelaskan pergumulan batinnya ketika memutuskan menjadi pendeta.
- Jangan takut akan keragu-raguan Anda
- Sebaiknya Anda takut akan setiap perdebatan yang walaupun cerdik namun kosong isinya, ya, sebaiknya Anda takut akan setiap muslihat, dan pertentangan yang dihasilkan oleh argumentasi yang tidak jujur
- Camkanlah asas tetap ini, yakni kalau Anda menghina orang lain, maka tindakan itu akan berdampak fatal atas diri Anda sendiri.
- Jangan menganggap sesuatu benar hanya karena kalau memegangnya Anda lebih aman ketimbang sebaliknya, yakni untuk menarik kesimpulan yang tidak diterima secara umum
- Terimalah hal ini sebagai hukum, yakni jangan memaksakan nalar menarik kesimpulan tertentu ataupun untuk percaya akan sesuatu.
- Jangan memaksakan diri lekas percaya; jangan berusaha menang atas keragu-raguan Anda menurut batas waktu tertentu.
Tanggal 22 Mei 1833, Horace Bushnell ditahbiskan dan dilantik menjadi pendeta jemaat North Church, Hartford, di negara bagian Connecticut, satu-satunya jemaat yang ia layani sepanjang masa hidupnya. Lima bulan setelah itu ia menikah dengan Mary Aptorph. Tahun 1845, ketika berusia 43 tahun, saat ia berada di puncak keberhasilan pelayannya, Bushnell terpaksa harus menjalani liburan selama satu tahun karena menderita sakit paru-paru, sejak itu kesehatannya mulai merosot. Setelah masa liburnya berakhir ia terus melayani dan menulis buku, bahkan melibatkan diri dalam urusan perkotaan dengan mengusulkan pembangunan taman kota di pusat kota, tempat yang sebelumnya dijadikan lokasi pembuangan sampah, kandang babi, gudang-gudang, bengkel kereta api, dan rumah susun bermutu rendah. Melalui kegigihannya, taman tersebut akhirnya berhasil dibangun dan diberi nama Bushnell Park, sebagai penghargaan dan terima kasih kepada penggagasnya. Kesehatannya yang terus menurun mengakibatkan Bushnell tidak mampu menyelesaikan penulisan buku mengenai Roh Kudus yang ia mulai tahun 1875 sampai akhirnya meninggal dunia pada 17 Februari 1876.
B. Pandangan Teologi Tentang Bahasa Keagamaan
1. Gaya Berteologi
Bushnell menganut gaya berteologi yang menolak setiap usaha orang untuk membekukan iman Kristen dalam pokok ajaran teologi yang ia warisi tanpa berefleksi atas artinya dalam konteks yang berbeda, dan cara ia menjelaskan pokok iman Kristen berdasarkan pembahasan bahasa keagamaan yang bersifat khas. Dalam pandangan Bushnell gaya berteologi yang tertutup dan tidak konstekstual akan mudah menimbulkan perselisihan di kalangan umat Kristen.
2. Teologi Bahasa Keagamaan
Bushnell berpendapat bahwa pembicaraan yang tidak berkaitan langsung dengan benda/objek tertentu selalu menuntut penggunaan bahasa simbolis dan figuratif, karena itu anggapan yang mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan dalam mengungkapkan sebuah gagasan tertentu telah mencakup seluruh arti dalam gagasan tersebut adalah sebuah kekeliruan. Bahasa keagamaan hanya mendekati arti yang sebenarnya, karena itu mustahil menggambarkan kenyataan rohani secara lengkap. Untuk memperkuat argumentasinya Bushnell merumuskan lima asas pemahaman dasariah penggunaan bahasa di kalangan orang beriman sebagai berikut:
1. Pengalaman pribadi menentukan arti. Dalam memberi makna terhadap kata tertentu setiap orang dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan pengumulannya.
2. Kenyataan rohani hanya diungkapkan melalui kiasan saja. Setiap bahasa keagamaan hanya dapat diucapkan dengan ibarat yang tidak sama dengan kenyataan yang ditunjukkan atau dilambangkan oleh ibarat tersebut.
3. Peristilahan keagamaan bersifat paradoks. Melalui paradoks kita ditolong lebih dekat kepada kebenaran dari pada melalui penalaran
4. Peristilahan keagamaan lebih menunjuk kepada kebenaran dari pada menyampaikan kebenaran. Istilah keagamaan tidak menyampaikan kebenaran secara langsung, tetapi membangkitkan kesadaran pendengar atau pembaca tentang kebenaran yang dilambangkan atau ditunjukkannya
5. Bahasa keagamaan membangkitkan iman. Bushnell melihat bahasa keagamaan sebagai sarana insani yang lebih kuat dari argumentasi logis untuk membangkitkan iman.
C. Teori dan praktek Pendidikan Agama Kristen
Pandangan Bushnell tentang Pendidikan Agama Kristen (PAK) tertuang dalam bukunya yang berjudul Christian Nurture. Buku ini sendiri merupakan refleksi atas anugerah Allah terhadap keluarga Kristen, termasuk keluarganya sendiri. Ia juga menentang teologia pada zaman itu yang mengorbankan kemauan manusia demi penekanan atas kedaulatan Allah. Menurutnya, teologi seperti itu tidak sesuai dengan anugerah Allah yang disaksikan Alkitab dan yang dialami oleh keluarga Kristen. Pengaruh orang tua Kristen terhadap anak-anak sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Fakta yang tidak boleh diabaikan ialah bahwa setiap individu lahir dan dibesarkan dalam kelompok, berinteraksi dengan kelompok lain dan anggota-anggotanya, dan bahwa dalam mengambil keputusan pribadi ia tidak terlepas dari pertimbangan atau nilai-nilai yang berlaku bagi kelompoknya.
Berikut ini adalah pandangan-pandangan dasariah Bushnell tentang teori dan praktek PAK.
1. Apakah PAK itu?
Menurut Bushnell, Pendidikan Kristen adalah “… pengalaman anak yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, dan metode-metode yang Allah berlakukan.” Bushnell menyatakan bahwa Anak yang dibesarkan dalam keluarga Kristen tidak hanya cenderung menyerap kesalehan yang diamalkan oleh orang tuanya, tetapi yang lebih penting lagi adalah Allah menyuruh orang tuanya memberi bimbingan agar anak itu berbuat demikian. Demikianlah kita membaca perintah berikut: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Ams. 22:6).
2. Tujuan PAK.
Rumusan tujuan PAK Bushnell terbagi dalam tiga kategori, yakni tujuan PAK untuk anak, orang tua, dan warga jemaat.
a. Tujuan PAK terhadap anak, ialah: “supaya ia (anak) menerima kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya, belajar bertindak baik, bertumbuh secara wajar dalam iman Kristen sebagai anggota jemaatnya.”
b. Tujuan PAK terhadap orang tua, ialah: Menyediakan pengalaman belajar yang menolong orang tua mempertimbangkan sejumlah cara mengurus rumah tangga dan dampaknya secara khusus atas pertumbuhan anak, yang melibatkan mereka dalam penelaahan sumber iman Kristen, yang menggiatkannya memilih tindakan yang semakin selaras dengan iman yang mereka ungkapkan secara lisan, sehingga mereka lebih mampu menyampaikan iman Kristen kepada anaknya
c. Tujuan PAK terhadap warga jemaat, ialah: menyediakan pengalaman belajar secara teratur di sepanjang umurnya melalui seluruh liturgi kebaktian, khususnya melalui khotbah, pembacaan dan penelaahan supaya mereka diperlengkapi untuk memanfaatkan iman Kristen yang semakin matang sehingga warga Kristen itu mampu menyoroti masalah hidup sedemikian rupa, menjadi warga Negara yang setia kepada Tuhan dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
3. Lingkungan dan konteks Pendidikan Agama Kristen.
Menurut Bushnell, konteks utama PAK ada dua, yakni :
d. Rumah tangga. Bushnell mengatakan “… segala hubungan dalam keluarga, termasuk iman, menghasilkan mutu kehidupan yang khas dari keluarga itu. Artinya, anak akan cenderung menyerap kekuatan dan kelemahan keluarganya, karena di dalam rumah tangga anak menerima pendidikan secara langsung, Pendidikan di dalam keluarga membutuhkan wibawa dari orang, terutama ayah, dan pendekatan yang proporsional, tidak merampas kemerdekaan anak, tetapi memiliki standar yang jelas dan tegas.
e. Jemaat. Jemaat perlu menyambut anak ke dalam persekutuan dan menyediakan pengalaman belajar yang teratur, dan bekerja sama dengan orang tua untuk melibatkan anak-anak yang sudah dibaptis dalam PAK.
4. Pengajar
Ada empat pengajar yang menurut Bushnell memainkan peran penting dalam PAK, yakni orang tua, jemaat, pendeta, dan anak-anak.
a. Orang tua sudah berperan sebagai pengajar sejak anak dalam kandungan dengan cara membangun hubungan suami istri yang baik dan dapat memberi ketenangan kepada sang ibu selama mengandung. Setelah anak lahir, orang tua mengajar anak melalui mutu kehidupan keluarga, melatih dan membiasakan anak dalam aktivitas kerohanian dan member kesempatan kepada anak untuk memberi respon. Orang tua juga harus peka dan peduli terhadap masalah dan pergumulan anak. Pesan penting dari Bushnell adalah “… anak dikaitkan dengan orang tua bukan dalam hal isi bimbingan, melainkan dalam hal mutu kehidupan, karena mutu kehidupan itu sendiri jauh lebih berpengaruh terhadap kehidupan anak dari pada pokok ajaran yang disampaikan kepadanya.”
b. Jemaat mengajar melalui kualitas hubungan antar komponen/unsure-unsur di dalam jemaat serta kehidupan jemaat yang terorganisasi dengan baik. Jemaat perlu menyusun rencana PAK yang baik, melakukan pelayanan kepada orang miskin serta perhatian kepada orang yang belum bertobat.
c. Pendeta mengajar melalui khotbah-khotbah yang dapat diolah kembali oleh jemaat untuk memperlengkapi hidup mereka sebagai murid Yesus Kristus di dalam lingkungan rumah tangga, gereja, dan masyarakat.
d. Anak-anak menurut Bushnell berperan sebagai pengajar karena keberadaan mereka sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jemaat, kehidupan anak memancarkan sinyal-sinyal yang perlu direspon oleh orang tua dan dijadikan bahasar/dasar pertimbangan dalam mendidik anak-anak.
5. Pelajar.
Ada tiga golongan pelajar, yakni: anak-anak, orang tua, dan warga jemaat dewasa.
a. Anak-anak. Hakekat anak-anak sebagai pelajar digambarkan oleh Bushnell sebagai berikut: (1) anak adalah anak Allah dan anggota jemaat, (2) anak dibesarkan secara organis dalam kelompok, khususnya keluarga, (3) anak adalah seorang pelajar di kalangan jemaat, (4) seperti halnya orang tuanya, anak adalah mahluk yang diperlemah oleh daya tarik dosa, dan (5) anak memiliki potensi untuk berkembang. Meskipun Bushnell optimis akan kemampuan anak untuk berkembang, namun ia sadar bahwa perkembangan itu tidak bersifat otomatis, harus ada pendampingan. “Pertumbuhan itu melibatkan orang tua dan anak dalam pergumulan melawan hal-hal yang jahat. Karena itu, PAK menuntut bimbingan yang kreatif dan teratur dari pihak orang tua dan jemaat serta adanya kerelaan belajar dari pihak anak.”
b. Orang tua. Hakekat orang tua sebagai pelajar dilihat dari sudut pandang, (1) “mereka adalah orang yang terbelenggu oleh dosa dan tidak selayaknya menjadi orang tua,” dan (2) “mereka adalah orang yang dapat dipersiapkan menjadi orang tua yang lebih mampu guna memenuhi panggilan yang mulia sebagai orang tua Kristen.” Hakekat seperti ini mengisyaratkan betapa pentingnya persiapan calon suami istri sebelum menikah.
c. Warga jemaat dewasa. Dalam pandangan Bushnell, warga jemaat (termasuk warga jemaat dewasa) harus terbuka untuk terus belajar. Sehubungan dengan itu Bushnell menyatakan: “warga jemaat dewasa, entah muda atau lebih tua, sebagai murid Yesus Kristus, dan karena itu mereka adalah orang yang membuka diri terhadap pengalaman belajar.”
6. Kurikulum
a. Kurikulum bagi anak-anak, meliputi:
1) Mengendalikan tubuh, yakni berkaitan dengan penanaman dasar-dasar pola hidup yang teratur melalui pembiasaan untuk membentuk perilaku-perilaku positif yang memiliki dimensi rohani.
2) Perkembangan kesalehan, berkaitan dengan keteladanan dan model yang dilihat langsung oleh anak, antara lain: (a) Orang tua harus mampu mengendalikan diri ketika mengajar anak-anak, (b) Jangan terlalu banyak melarang, (c) Jauhkan diri dari kekerasan terhadap anak, (d) Hargai prestasi anak dan perlihatkan kegembiraan seperti yang dirasakan anak, (e) Jika harus menghukum anak lakukanlah secara proporsional, (f) Sebelum mengatakan anak bersalah orang tua harus berusaha lebih dahulu memperoleh informasi yang benar, (f) Jangan menunjukkan perasaan khawatir yang berlebihan terhadap anak, (g) Perlakukan anak sesuai dengan usianya.
3) Keanggotaan dalam jemaat, meliputi pengembangan liturgi khusus, kesempatan untuk mengambil bagian dalam kebaktian pagi, penyediaan bahan cetak yang berisi panduan untuk orang tua dan jemaat guna mendidik anak dalam iman Kristen. Untuk anak-anak muda kurikulum mencakup cerita-cerita dari Alkitab, nyanyian rohani yang sederhana, doa-doa, Dasa Titah, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, arti Sakramen, Hari Minggu, dan hari raya lainnya yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan anak
b. Kurikulum bagi orang tua, meliputi: “… pengetahuan, pengertian, dan keterampilan tentang tiga pokok utama, yakni dampak kelakuan mereka atas perkembangan rohani anaknya, cara mengembangkan rumah tangga yang sehat, saleh dan berbahagia, dan pokok-pokok iman Kristen itu sendiri.”
c. Kurikulum bagi warga jemaat, meliputi: “… bahan-bahan yang menolong orang dewasa untuk menelaah peristilahan yang orang-orang Kristen cenderung pakai dalam mengkomunikasikan iman.”
D. Analislis/Kesimpulan
1. Kelebihan
a. Horace Bushnell adalah seorang pendeta, teolog, pengarang, pendidik, dan pemikir yang memiliki pandangan jauh ke depan (melewati zamannya), sehingga warisan pemikirannya masih relevan hingga sekarang.
b. Kepekaan dan kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial membuktikan bahwa ia seorang yang berpandangan holistik yang tidak hanya memikirkan jemaatnya sebagai warga gereja, tetapi juga sebagai warga masyarakat.
c. Rasa tanggung jawabnya terhadap perkembangan gereja di masa yang akan datang nampak dari keseriusannya memikirkan PAK yang ia tuangkan dalam buku Christian Nurture. Namun demikian, ia tidak hanya memikirkan pendidikan anak-anak, tetapi juga orang tua, dan warga jemaat. Dapat dikatakan Bushnell adalah seorang penganjur life-long learning. Buku Christian Nurture ditulis dengan sangat cermat dan sistematis dengan pembahasan yang sangat mendasar sehingga menjadi buku PAK yang paling berpengaruh pada abad ke-19 di Amerika.
d. Bushnell sangat menyadari bahwa untuk membangun kehidupan jemaat yang kokoh, pendidikan di dalam keluarga harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena itu orang tua harus mendapat bimbingan dan pelatihan yang memadai agar dapat menjadi pengajar yang handal bagi anak-anak mereka.
e. Bushnell juga seorang teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran sehingga berani menentang paham-paham teologia yang menyimpang, meskipun ia harus berhadapan dengan sejumlah tokoh atau jemaat yang menentangnya.
2. Kelemahan
a. Teologinya tentang bahasa keagamaan membuat batas-batas antara kebenaran dan ketidakbenaran menjadi kurang tegas, hal ini bisa menimbulkan kerancuan berpikir di kalangan jemaat.
b. Penggunaan bahasa simbolik dan figuratif membutuhkan kemampuan tinggi karena bisa menimbulkan salah persepsi di kalangan jemaat, pendengar, atau pembaca, sementara kebanyakan anggota jemaat lebih menyukai khotbah yang cenderung apa adanya dan mudah dimengerti.
Referensi:
Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Commenius sampai perkembangan PAK di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, halaman: 431—503.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar